Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Dari pojok sudah kuamati apa yang telah Ningrum lakukan. Anak ini cukup berbakat untuk pembunuhan pertamanya. Sayang sekali, dia tidak akan bisa hidup lama.
“Bagus, Ningrum!” pujiku dengan bertepuk tangan.
Mata Ningrum kembali normal. Kemudian dia berlutut di hadapanku. “Terima kasih, Tuan. Berkat Anda, hamba bisa membalaskan dendam hamba.”
Aku tertawa keras-keras.
“Apa hamba juga perlu membereskan ustadz itu?”
Kulirik ustadz yang telah enam belas tahun terakhir ini selalu menghalangiku untuk menagih utang pada ibunya Ningrum—Asih. “Tidak perlu. Kita biarkan saja.” Kuelus lembut rambut Ningrum.
“Sekarang hamba bisa menyerahkan diri hamba pada Tuan dengan damai.”
Kurendahkan diri hingga sejajar dengan Ningrum. Kuangkat wajah ayunya. Gadis ini rela menukar nyawa demi membunuh keluarganya. Sungguh keberanian yang luar biasa. Juga pengorbanan yang kusuka.
Mata kami bertemu. Kilasan momen berkelebat di antara kami. Bisa kurasakan derita Ningrum dan apa yang terjadi padanya sepanjang hidup. Begitu pun dia.
Mata Ningrum membelalak. Tubuhnya tersentak ke belakang. Ningrum beringsut menjauh pelan. Isak tangisnya mulai terdengar. Bagian favoritku sudah mulai.
“Tidak…,” desis Ningrum. “I-itu… bukan perbuatan abang. Itu kau, bajingan!!!” teriak Ningrum memenuhi ruangan.
Aku tersenyum senang. Kubuka kedua tangan lebar-lebar. “Aku suka tubuhmu, Ningrum! Sama seperti aku menyukai tubuh ibumu.”
“Bedebah! Laknat!”
Kudekati Ningrum. Gadis itu beringsut menjauh. Kucium bibir merahnya paksa. Kemudian aku tertawa sepuasnya dan membiarkan gadis itu berlari.
Ningrum tergesa-gesa menuju balkon lantai dua kemudian menjatuhkan diri.
Ah… dia pikir dia mau kemana? Sangat menyenangkan bisa memilikinya saat hidup maupun mati.