Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Kenapa? Kenapa kamu lakukan ini, Ningrum?” Suara Pak Bowo bergetar. Tangisnya pecah membanjiri pipi yang mulai keriput. Di sampingnya, Pak ustadz sudah tergeletak tak sadar. Di sisi lain jasad istrinya meringkuk kaku sementara anak sulungnya terbujur di kamar.
Mata Ningrum mendelik. Retinanya menghitam perlahan. “Papa tanya kenapa?” Bibir Ningrum tersenyum miring. “Kenapa Papa namai aku Ningrum sementara abang diberi nama Alexander? Kenapa bukan Xaveria atau Carolina? Papa tahu kalau sejak kecil aku di-bully karena namaku? Apa karena aku bukan anak Papa?”
Pak Bowo mendesah. Digenggamnya tasbih semakin erat melihat anak perempuannya kini merangkak di dinding dan menggantung di langit-langit. “Tidak Ningrum. Demi Allah tidak seperti itu. Papa hanya ingin anak perempuan papa menjadi wanita Indonesia yang tidak melupakan budayanya,” kata Pak Bowo.
“Cih! Jangan bawa-bawa Tuhan seolah Papa tidak mempunyai keraguan dengan-Nya!”
Ningrum mengelilingi langit-langit. Suara kretek-kretek terdengar ngilu ketika lehernya ia putar 300 derajat. Dia tahu tidak akan bisa menyentuh Papa karena pria itu selalu patuh menjalankan rukun islam. Namun tidak perlu bersusah-susah sebab Ningrum bisa membunuh Papa tanpa menyentuh lelaki tambun itu.
“Papa mau tahu kenapa kubunuh abang?” Tiba-tiba saja wajah Ningrum sudah ada di depan wajah Pak Bowo. Dengan mata menghitam sepenuhnya.
Pak Bowo melafalkan ayat-ayat suci yang diingatnya sebanyak mungkin di dalam hati.
“Papa tahu? Anak kebanggaan Papa itu sudah melecehkanku!”
“Astaghfirullahaladzim!” Jantung Pak Bowo berdentum hebat. “Tidak mungkin abangmu begitu, Ningrum! Kamu adik kandungnya!”
“Tapi itu kenyataannya, Pa! Tanya abang kalau ketemu di akhirat!”
Napas Pak Bowo tersengal. Masih kuat juga jantungnya menahan berita yang menjijikan itu.
Ningrum mendengus. Papa adalah satu-satunya orang tidak memiliki dosa terhadapnya—kecuali soal memberi nama.
“Pa… apa Papa tahu kalau Mama selingkuh?” Ningrum merangkak mendekati Pak Bowo perlahan.
“Demi Allah jangan memfitnah orang yang sudah mati, Ningrum!”
“Tapi itu benar. Papa tahu golongan darahku tidak cocok dengan kalian berdua! Tapi wajahku mirip sekali mama. Aku bukan anak kandung Papa….”
Pak Bowo memegang dadanya yang terasa semakin nyeri. Teringat ketika perawat memberitahu kalau golongan darah Ningrum adalah B negatif. Bukan A atau O. Pria tambun itu meringis menatap jasad istrinya yang terbaring kaku. Pak Bowo berusaha meraih oksigen terakhirnya di udara kemudian terkulai.
“Aku tidak salah telah membunuh dua pendosa, bukan?” Ningrum menyeringai lebar. Sangat lebar dari ujung telinga kiri hingga telinga kanan.
Dari sudut ruangan, muncul sesosok bayangan hitam yang bertepuk tangan riuh.