Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kata Mama dan Papa, setan itu tidak ada. Tetapi ketika kuceritakan kalau abang bisa terbang dan benda-benda di kamarnya bergerak sendiri, mereka langsung pucat pasi.
Mama segera menelepon seorang ustadz. Papa mengintrogasi abang dan mengurungnya di kamar.
Ketika pak ustadz datang, Mama segera mengantarnya menuju kamar abang. Suara-suara terdengar dari dalam kamar. Sesekali abang mengaduh dan sekali waktu pak ustadz menjerit.
“Ma… katanya setan ga ada,” bisikku mendekati Mama yang ketakutan di ruang keluarga.
Mama tidak menjawab dan malah melirik Papa yang sedari tadi menggenggam tasbih dan kitab suci.
“Pa… mama belum mau mati,” bisik Mama pada Papa.
“Sabar, Ma. Mudah-mudahan pak ustadz bisa mengusir roh jahat itu.” Papa memeluk Mama sambil terus mengagungkan nama-Nya. Kemudian Papa menarikku dan kami bertiga berpelukan.
“Kenapa Mama harus mati?” tanyaku pelan.
“Leluhur Mama dulu melakukan perjanjian dengan iblis. Tujuh generasi anak pertama akan mati ketika sudah memiliki sepasang anak,” kata Mama. “Mama adalah generasi ke tujuh.”
Aku menatap Mama dan Papa. Mereka sangat ketakutan. Mama bahkan menggigil seolah kedinginan. Wajahnya semakin pucat. Bibirnya membiru. Tubuhnya bergetar semakin hebat. Bukan lagi gigil, tapi kejang.
Mama terjatuh dan Papa terkejut hingga mematung. Detik berikutnya Papa menjerit. Digoyangkannya tubuh Mama. Tapi Mama sudah kaku dengan kedua mata mendelik ke arahku.
Pintu kamar terbuka. Pak ustadz terlihat berantakan dengan wajah lebam. Kemudian pria tua berjanggut itu mendorongku hingga menubruk tembok.
Papa hendak menolongku tetapi tangannya ditarik pak ustadz. “Pak Ustadz, ada apa ini?”
Aku tersenyum. Dari balik pintu kulihat abang tergeletak bermandikan darah.
“Dia setan yang sesungguhnya, Pak Bowo! Dia!”