Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langit sore itu lembut seperti bekas luka yang baru menutup.
Hujan baru saja berhenti, meninggalkan aroma tanah basah dan udara yang dingin tapi damai.
Di bangku taman rumah sakit, seorang perempuan duduk dengan buku sketsa di pangkuannya. Ia menggambar bunga dengan hati-hati, garis demi garis. Pensil di tangannya bergerak pelan, seolah takut menyakiti kertas. Namun, sedikit saja tekanan berlebihan, kulit jarinya robek. Setetes darah merah mengalir, kecil tapi nyata.
Lumi tersenyum tipis.
“Aku memang tidak pernah belajar,” gumamnya lirih.
Ia mencari tisu di tasnya, tapi sebelum sempat menemukannya, seseorang mengulurkan sapu tangan putih.
“Gunakan ini,” suara itu dalam, tenang, dan sedikit serak.
Lumi menatap pemilik suara. Pria berjaket hitam, kamera tergantung di lehernya, matanya teduh tapi menyimpan sesuatu yang sulit dijelaskan.
“Terima kasih,” ucap Lumi, menekan lukanya dengan hati-hati.
“Kau masih suka menggambar rupanya,” katanya pelan.
Lumi menoleh cepat.
“Apakah kita pernah bertemu?”
Pria itu tersenyum samar.
“Mungkin tidak. Tapi aku pernah melihatmu di taman ini, beberapa tahun lalu.”
Namanya Luca fotografer dokumenter yang terbiasa merekam kesedihan orang lain dari balik lensa. Bertahun-tahun lalu, ia memotret Lumi tanpa izin: seorang perempuan yang menggambar sambil darahnya menetes. Foto itu diberinya judul Perempuan yang Tidak Pernah Berhenti Berdarah.
Itu foto paling emosional yang pernah ia ambil, tapi juga satu-satunya yang tak pernah ia pamerkan.
Entah mengapa, foto itu terasa terlalu pribadi.
Terlalu jujur.
Beberapa minggu setelah pertemuan itu, mereka kembali saling menemukan. Kadang di taman rumah sakit, kadang di kafe kecil dengan aroma kopi yang lembut.
Lumi bekerja sebagai ilustrator buku anak-anak. Ia menggambar setiap hari, tapi selalu dengan hati-hati karena tubuhnya memiliki rahasia: penyakit con willebran, gangguan pembekuan darah yang membuat luka kecil pun bisa menjadi berbahaya.
“Tubuhku mudah berdarah,” katanya suatu sore, tanpa nada sedih. “Kadang aku pikir, mungkin aku diciptakan untuk mengingat rasa sakit lebih lama dari orang lain.”
Luca menatapnya lama.
Ia tak berani bilang apa pun, karena setiap kalimat terasa tidak cukup untuk menyentuh kedalaman yang ada di balik kata-kata Lumi.
Hari-hari berjalan seperti warna di kanvas kadang hangat, kadang pudar.
Luca mulai datang lebih sering. Ia duduk di taman saat Lumi menggambar, membiarkan keheningan bicara untuk mereka berdua.
Suatu sore, Luca bertanya, “Kenapa kau selalu menggambar bunga yang belum mekar?”
Lumi tersenyum kecil.
“Karena aku tidak yakin bisa melihatnya mekar.”
Jawabannya sederhana, tapi menancap.
Malam itu, Luca menemukan Lumi tergeletak di depan rumahnya. Bibirnya pucat, darah mengalir dari hidungnya. Ia panik, membawanya ke rumah sakit. Dalam perjalanan, matanya kabur oleh air mata dan hujan.
“Bertahanlah, Lumi. Tolong jangan tinggalkan aku juga,” katanya nyaris berbisik, suaranya pecah di antara deru mesin mobil.
Ketika dokter berkata Lumi kehilangan banyak darah, dunia di sekitar Luca terasa hening. Ia duduk di ruang tunggu, menatap tangan yang bergetar. Ia tidak pernah benar-benar takut kehilangan lagi sampai saat itu.
Lumi membuka mata dua hari kemudian. Cahaya putih dari jendela menyambutnya. Di samping ranjang, Luca tertidur, kepalanya bersandar di tepi kasur.
“Kenapa kamu di sini?” suaranya lemah, tapi lembut.
Luca terbangun, menatapnya, matanya merah.
“Karena aku takut kamu pergi.”
Lumi tersenyum samar.
“Aku sudah terbiasa berdarah, Luca. Kau tidak perlu takut.”
Luca menggenggam tangannya erat.
“Aku takut tidak bisa menghentikannya.”
Lumi menatap langit-langit kamar yang putih.
“Tidak semua yang berdarah harus berhenti. Kadang itu hanya cara tubuhku mengingat bahwa aku masih hidup.”
Sejak itu, cinta mereka tumbuh pelan-pelan bukan seperti nyala api, tapi seperti embun yang sabar menunggu pagi.
Luca sering memotret Lumi. Saat menggambar, saat diam, saat menatap langit.
Ia tidak pernah memotret senyumnya.
“Kenapa kau tak pernah mengambil fotoku saat aku tersenyum?” tanya Lumi suatu sore.
“Karena aku ingin menyimpan wajahmu yang jujur,” jawab Luca. “Yang tidak berpura-pura bahagia.”
Lumi tertawa pelan.
“Berarti kamu fotografer paling kejam yang pernah kutemui.”
“Dan kau,” Luca menatapnya lembut, “perempuan paling berani yang pernah kucintai.”
Musim hujan datang lagi.
Lumi menggambar bunga besar di kanvas putih. Tetesan cat merah menodai tangannya, tampak seperti darah.
Luca datang, menyalakan kameranya tanpa banyak bicara. Klik.
“Judulnya apa kali ini?” tanya Lumi.
Luca melihat layar kameranya lama.
“Perempuan yang Akhirnya Berhenti Berdarah.”
Lumi terdiam, lalu tersenyum kecil.
“Aku belum berhenti sepenuhnya, Luca.”
Tangannya menyentuh dadanya perlahan. “Tapi aku sudah tahu caranya untuk tidak takut lagi.”
Luca memeluknya pelan, dan untuk pertama kalinya, ia merasa tenang.
“Aku tidak butuh kau sembuh, Lumi,” bisiknya. “Aku hanya butuh kau berani hidup.”
Beberapa bulan kemudian, foto itu terpajang di sebuah galeri kecil di sudut kota.
Banyak orang berhenti di depannya, terdiam lama.
Seorang perempuan berdiri di depan kanvas, tangannya berlumuran merah, matanya damai.
Mereka tak tahu apa warna itu darah atau cat dan mungkin, itu memang tidak penting.
Yang penting, perempuan dalam foto itu tidak lagi tampak lemah.
Ia tampak hidup.
Utuh, dengan semua luka yang pernah ia terima.
Dan bagi Luca, ia bukan lagi Perempuan yang Tidak Pernah Berhenti Berdarah.
Ia adalah Lumi perempuan yang berani hidup, meski tahu tubuhnya bisa menyerah kapan saja.
Karena pada akhirnya, cinta memang tidak menyembuhkan luka.
Cinta hanya mengajarkan kita cara memandang darah tanpa berpaling.