Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Entah sudah yang keberapa kalinya weekend seperti ini kami lewati bersama. Sebuah kegiatan yang tanpa sengaja telah menjelma menjadi ritual bagi kami bertiga aku, Wina, dan Tika. Kami adalah ibu rumah tangga dengan segudang aktivitas masing-masing, yang sengaja menyempatkan diri di akhir pekan untuk mengisi ulang tangki obrolan. Sejenak bernapas, sebelum kembali bergulat dengan rutinitas Senin yang telah menunggu.
Hari ini, rencananya kami akan berkumpul di rumahku. Semula, kami berjanji untuk bertemu pukul tiga sore. Namun, langit mendung dan gerimis yang tak henti-henti memaksa kami membatalkan acara sore itu. Aku pun mengirim pesan singkat kepada Wina dan Tika, mengabarkan bahwa pertemuan kami tertunda.
Namun, tak disangka, sekitar setengah jam kemudian, terdengar ketukan pintu. Di depan rumah, Wina sudah berdiri dengan anak bungsunya yang masih digendong. Rupanya, layar ponselnya rusak, sehingga ia tak melihat pesan pembatalan itu. Meski agak kaget, aku mempersilakannya masuk. Basah kuyup, tapi senyumnya masih tersungging lemah.
Sementara menunggu hujan reda, kami duduk di ruang keluarga. Wina mulai bercerita. Perlahan, tapi pasti, keluh kesahnya mengalir deras tentang rumah tangganya, tentang suaminya, tentang segala beban yang ia tanggung sendirian. Air matanya tak tertahankan lagi, dan ia pun menangis. Aku hanya bisa mendengarkan, merasa tak cukup ahli untuk menghibur.
Tak lama kemudian, hujan berhenti. Aku segera menelepon Tika, memintanya untuk datang. “Wina sudah di sini,” kataku. “Ayo, kita kumpul saja seperti rencana semula.”
Tika tak butuh waktu lama. Ia datang dengan membawa tiga bungkus ramen hangat, aromanya menggugah selera. Begitu melihat Wina yang masih terisak, Tika langsung memeluknya erat. Dengan caranya yang khas, ia mulai melontarkan canda dan cerita-cerita lucu, mencairkan kesedihan yang sempat menggumpal. Perlahan, suasana sendu itu pun berubah. Wina tersenyum kembali, meski matanya masihlah sembap.
Kami pun makan ramen bersama, diiringi gerimis sore yang kembali rintik-rintik. Di meja makan itu, ada tawa, ada air mata, ada kebisuan yang berarti, dan ada juga cerita-cerita yang hanya bisa dipahami oleh kami bertiga. Masalah Wina mungkin belum selesai, tapi setidaknya, bebannya tak lagi dipikul sendirian.
Dan sore itu, kami mengingat lagi betapa pentingnya memiliki tempat untuk berbagi, sekaligus mengingat bahwa di balik hari-hari yang melelahkan, ada persahabatan yang selalu siap menjadi pelabuhan.