Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Religi
Gaza, Palestina
0
Suka
5
Dibaca
Flash Fiction ini masih diperiksa oleh kurator

Gaza, Palestina.

Deskripsi seperti apa yang layak disematkan pada dua kata tersebut? Apparteid, penjajahan dan genosida. Arogansi, kesewenang-wenangan dan binatang. Atau propaganda, iman dan victim?

Aku mengenal kisah Palestina bukan hari ini, namun hatiku terketuk sejak tahun lalu. Di tahun-tahun sebelumnya, bisa dikatakan, aku hanya sekedar ikut-ikutan agar terkesan up to date. Lalu, apa alasanku mulai mengulik tentang konflik Palestina-Israel sekarang?

Aku lupa kapan tepatnya, tapi waktu itu, seperti biasa, aku menscroll sosial media, YouTube lebih tepatnya; short video. Sebuah konten menampilkan gambaran pemukiman yang hampir luluh lantak oleh serangan bom dari Israel. Aku yakin akun tersebut mengambil penggalan video dari laman news yang berasal dari Timur Tengah. Dia sertakan subtitle Bahasa Indonesia. Syukurlah, aku benar-benar payah dalam Bahasa Inggris apalagi Bahasa Arab. Pernah mengaji, tapi belum pernah mempelajari Bahasa Arab. Anyway, satu yang aku sorot dari tayangan tersebut adalah iman.

Dia adalah seorang pria paruh baya dengan rumahnya yang hancur tak bersisa. Bersama sang putra, dia berdiri memandangi puing-puing bangunan. Tidak ada tangisan, hanya senyum samar nan teduh. Seorang reporter -tanpa menunjukan wajahnya- datang untuk mewawancarai. Tahukah Anda sekalian, apa yang membuat airmataku luruh tiba-tiba?

"Alhamdulillah ..." Si pria paruh baya mengatakannya dengan penuh keikhlasan. "Tidak apa-apa. Uang dan harta bisa dicari, itu semua milik Allah. Kami selamat. Oh, lihat! Kucing kami juga selamat!"

Seekor kucing putih yang bulu-bulunya tertutup debu berjalan pelan menghampiri sang putra dari si pria paruh baya. Melompat manja ke dalam dekapannya.

Katakan padaku! Siapa sih yang pernah mengucapkan kata hamdalah dengan sarat akan rasa ikhlas ketika rumahnya tergusur atau dilalap api? Rerata mereka akan marah dan mengamuk atau menangis histeris. Tapi ini, "alhamdulillah ..." Kalimat yang begitu syahdu terdengar. Seakan mencemoohku habis-habisan atas kurangnya rasa syukur yang kupanjatkan. Mengeluh dan selalu merasa kurang.

Bagiku wajah Gaza adalah si pria itu, lambang keikhlasan dan iman yang kuat. Dialah yang menuntunku untuk mengikuti perkembangan konflik ini, di mana antara kejahatan dan kebajikan benar-benar dipertontonkan secara nyata, bukan terselip dalam fiksi romansa. Mereka berkata, inilah penghujung zaman, di mana Tuhan benar-benar menunjukan perbedaan antara para hipokrit dan mereka yang tertindas, juga orang-orang bodoh yang berhasil tercuci otaknya oleh berpuluh propaganda.

Sebagai seorang muslim sejak lahir, gambaran Gaza yang semakin brutal kian hari seolah memperjelas firmanNya dalam Al Quran, bahwa kami hanya mampu terdiam seperti seorang pengecut, tercerai-berai seperti buih dalam lautan. Kami, yang tak memiliki kuasa hanya mampu turun ke jalan, menyuarakan protes dan aksi teater dengan lantang, melakukan boikot atau berdonasi. Sedangkan para pemimpin -yang mengaku jenius dengan otak cemerlangnya- hanya mampu sampai pada poin menuntut, memutuskan tapi nihil pelaksanaan. Apakah negara-negara itu sengaja melakukannya untuk sebuah pujian atau tidak mau dipersalahkan oleh rakyat karena hanya diam? Atau mereka sebenarnya tulus namun kuasa yang jauh lebih tinggi berhasil membungkam kembali langkah mereka? Atau adakah intrik-intrik politik di balik isu global ini?

Alih-alih bersatu melawan kesewenang-wenangan, mereka malah terus menggaungkan wacana perdamaian di atas kertas antara dua negara. Ah, yang benar saja! Itu bukan perang, tapi penjajahan dan genosida. Bukan perjanjian perdamaian yang harus direalisasikan, tapi sanksi yang harus diturunkan!

Gaza, Palestina.

Kembali ke pokok bahasan semula, tahukah Anda perubahan seperti apa yang berdampak padaku? Hijrahkah? Tidak, aku masih jauh dari tindakan mulia tersebut. Tapi, bisa kupastikan jalanku menuju arah yang lebih baik. Berbenah diri dan membuang segala kesia-siaan yang telah menjadi kebiasaan. Hal mendasar seperti terpenuhinya shalat wajib rutin, berpuasa sunah selain Ramadhan, bersedekah, shalat sunah dan mendengarkan. Benar-benar mendengarkan kesakitan mereka. Lalu, menceritakan ulang. Bahwa kolonialisasi masih ada di bumi ini dan itu mengarah ke penghancuran massal, genosida.

Aku tidak punya kuasa atau harta, hanya sosial media. Dan aku tidak tahu akan seberapa besar perbuatanku ini nantinya berdampak untuk mereka. Aku hanya ingin mereka tahu, bahwa di balik penderitaan mereka ada dampak positif yang sedang terjadi. Pada mereka yang mengaku sebagai manusia, terkhusus pada diriku sendiri.

Gaza, Palestina.

Dunia sudah mulai bangun dari mimpi. Merajut realita pahit yang telah ratusan tahun sengaja dikubur oleh beberapa pemegang catatan sejarah. Era brainwash perlahan berakhir, tergantikan warna asli yang akan segera hadir.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Religi
Flash
Gaza, Palestina
9inestories
Novel
Bahasa Langit
Syafi'ul Mubarok
Novel
Bronze
A Miracle (Luka Hati Faris)
Zainur Rifky
Novel
Gold
Secangkir Teh dan Sepotong Ketupat
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Hanya karena Aku Wanita: Tak Berhakkah Aku Punya Cita-Cita?
lina sellin
Novel
Majelis Cinta
Minain
Flash
Surga di telapak kaki Ibu
Yulia Fahri
Flash
Ajari Aku Mencintai-Mu
Rintik Senja
Novel
Bronze
Malaikat Bermata Hazel
iqbal syarifuddin muhammad
Novel
Baraa'
Ahliya Mujahidin
Flash
Doa Meminta Keburukan
Binar Bestari
Novel
7 HARI PERNIKAHAN
Nengshuwartii
Flash
KANG ABI MENGAIS REJEKI
Heri Lumbiana
Novel
Hakikat Kesetiaan Meraih Keharmonisan
Arif Munandar
Novel
Teruntuk Hamba Allah
Setya Kholipah
Rekomendasi
Flash
Gaza, Palestina
9inestories
Flash
Bronze
Nana
9inestories
Cerpen
Sihir
9inestories
Flash
Surya di Ujung Senja
9inestories
Cerpen
Bronze
Janji Bapak
9inestories
Flash
Cowok Meteora
9inestories
Flash
Mbak Kunti yang Cengeng
9inestories