Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sudah hampir sepuluh tahun rumah Mbakku berdiri kosong. Sejak dia dan suaminya merantau ke pulau seberang, tak ada lagi yang menempatinya.
Rumah itu berdiri megah di antara rumah-rumah warga kampung. Rumah yang dibangun dari hasil kerja keras Mbakku selama beberapa tahun jadi TKW di Arab Saudi.
Dulu, saat aku masih sekolah, tugasku sederhana tapi terasa berat, yaitu memegang kunci rumah itu, menyalakan lampu setiap sore, dan mematikannya setiap pagi.
Masalahnya, jarak dari rumahku ke sana lumayan jauh, dan aku harus melewati pekarangan luas yang dibiarkan kosong karena katanya angker. Konon, siapa pun yang coba bangun rumah di situ, pasti gagal.
Beberapa kali ada orang datang ke rumah Ibu, bilang ingin menyewa rumah Mbak. Sudah survei, sudah sepakat, tapi entah kenapa—ujung-ujungnya selalu batal.
Belakangan aku tahu, ternyata banyak tetangga yang mengeluh. Mereka sering menemuiku sambil berbisik, wajahnya kelihatan tidak tenang.
“Yunda, rumah Mbakmu itu, loh. Ada anak kecil suka main lari-larian, muter-muter di sekitaran rumah. Kalau malam, suka nimpukin orang lewat!”
“Yunda, ada perempuan rambut panjang di belakang rumah Mbakmu. Berdiri aja di bawah lampu yang remang-remang.”
“Oh ya, Nda dari dapurnya sering kedengeran suara orang masak. Terus kalau hujan, ada bau kayak singkong dibakar.”
Cerita-cerita itu banyak banget, dan jujur aja, aku sebenarnya udah lama ngerasa ada yang aneh juga.
Sampai suatu sore, aku mengalaminya sendiri.
Waktu itu hujan rintik-rintik. Aku sadar aku terlambat menyalakan lampu, tapi karena sudah jadi kebiasaan, aku tetap berangkat. Payung kupakai, langkah kupercepat, tapi rasa tidak enak mulai menyelusup di dada. Pekarangan luas itu sunyi sekali. Hanya suara air hujan yang jatuh ke tanah dan sesekali angin yang bikin daun pisang bergoyang aneh.
Saat sampai di rumah Mbak, gerimis malah makin deras. Aku masuk lewat pintu belakang, langsung mengarah ke dapur. Lampu dapur berhasil kunyalakan. Tetapi ruangan lain masih gelap.
Aku melangkah ke ruang tengah, dan di sanalah aku melihatnya.
Di pojokan, di samping lemari bufet tua, ada sesuatu berdiri diam. Cahaya lampu dapur yang temaram cuma menyorot sebagian tubuhnya — bungkusan kain putih, menggantung dari atas sampai bawah, diam mematung.
Darahku langsung berhenti mengalir. Napas tercekat. Tapi refleks, aku tetap jalan cepat ke arah saklar ruang tengah. Sekali pencet—klik—lampu nggak nyala. Pencet lagi—masih gelap.
Ada yang usil sepertinya.
Detik itu juga, bulu kudukku berdiri semua. Ruangan yang tadinya cuma gelap sekarang terasa menekan, kayak ada sesuatu yang menatapku dari kegelapan. Aku tidak pikir panjang. Langsung putar balik, lari ke dapur, dan keluar lewat pintu belakang.
Begitu keluar, aku lihat ada seorang perempuan lewat. Saudara jauh dari suami Mbakku, tinggal di dekat situ. Dia udah rapi pakai mukena, mungkin mau ke mushola.
“Hei, kok kesorean sih? Ndak takut, apa?” katanya sambil menatapku heran.
Aku cuma bisa nyengir kaku. Tapi saking paniknya, aku minta dia nemenin balik ke dalam buat nyalain lampu tengah sama lampu teras.
Kami masuk berdua. Aku nunjuk pojok lemari tempat aku lihat bungkusan tadi. Tapi kosong.
Tidak ada apa-apa.
Cuma lemari tua, dan bayangan kami sendiri di lantai basah.
Perempuan itu cuma tertawa kecil. “Mungkin bayanganmu sendiri,” katanya, berusaha menenangkan.
Tapi aku tahu betul apa yang kulihat barusan. Bentuknya jelas, berdiri diam di sana, dengan kain putih menggantung dan bagian ujungnya berayun pelan.
Sejak malam itu, aku memutuskan berhenti. Nggak mau lagi urusan nyalain lampu rumah Mbak.
Kalau tetangga mengeluh, biarlah. Aku sudah kepalang takut balik lagi ke sana.
Dan mungkin, kalau malam hujan datang lagi, siapa pun yang lewat bisa mencium bau singkong bakar dari rumah Mbakku itu. Aku sarankan jangan berhenti. Jangan lihat ke arah rumah kosong itu.