Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku dan Rio menenggak beberapa botol bir di warung kecil belakang kampus, tempat yang kami datangi setiap kali dunia terasa terlalu bising. Kami tak berbicara banyak, hanya duduk berseberangan di kursi kayu reyot, membiarkan musik dangdut dari radio tua mengalun pelan di antara dengung serangga malam.
Rio sudah menenggak botol ketiganya ketika aku memutuskan berhenti di botol pertama.
“Bro, lo nggak minum lagi?” Rio mendesah, matanya sudah mulai berat.
“Udah cukup,” jawabku, menatap buih tipis di bibir botol.
“Udah cukup dari apanya hidup lo? Lo tuh... selalu kebanyakan mikir. Udah minum sampai lo lupa sama masalah yang lo punya.”
Aku hanya tersenyum, separuh malas, separuh sadar dia benar. Kadang aku memang terlalu banyak berpikir. Tentang hidup, masa depan, hal-hal kecil yang tak semestinya kuberi tempat di kepala. Tapi malam itu, aku hanya ingin diam.
Sekitar pukul dua lewat lima belas, Rio mulai limbung. Aku yang mengajaknya pulang, menuntun langkahnya di jalan sempit yang hanya diterangi lampu oranye dari tiang tua.
“Udah, jangan ngomel, jalan aja,” kataku saat ia mulai meracau. Kami tertawa pelan, tapi tawa itu cepat memudar, tenggelam dalam kesunyian dini hari.
Kos Rio berada di ujung gang. Begitu aku memastikan ia sudah rebah di kasurnya, aku menatap jam di ponsel.
02.46
Aku berpikir untuk langsung pulang ke kosku sendiri.
Tapi di gang dekat kosku, langkahku terhenti. Gelisah kembali memenuhi perasaanku. Napasku terasa sulit. Sesak. Pikiran-pikiran itu kembali berputar dalam kepalaku. Kali ini lebih banyak. Lebih cepat. Silih berganti.
Kebutuhan keluarga yang terus meningkat.
Pekerjaan yang memperbudak.
Gaji yang terlalu bercanda.
Karir yang mentok.
Masa depan yang gelap.
Kenapa aku?
Diam!
Diam!
Diam!
Diam!
Diam!
Diam!
Diam!
Diam!
Diam!
Diaaaaaaaaaaaaaaaam!
Aku berteriak keras pada diriku sendiri. Seketika semuanya sunyi.
Badanku langsung terhuyung. Mungkin efek alkohol. Lenganku meraba-raba mencari pegangan. Napasku tersengal, tapi itu lebih baik, dibandingkan rasa sesak tadi. Saat paru-paruku dihimpit oleh beban-beban pikiranku. Kulepas semua udara yang sempat terpenjara. Dan kuhirup udara sebanyak-banyaknya.
Tubuhku masih lemas untuk lanjut jalan. Kuputuskan bersandar di dinding gang yang basah setelah kena hujan deras malam sebelumnya. Kuraba sakuku, mengambil sebatang rokok.
Aku menyalakannya. Satu hisapan dalam.
Fuuuuh......
Asapnya naik pelan ke udara yang lembab, membentuk garis tipis yang hilang diterpa angin. Ada perasaan lega yang sulit dijelaskan. Seolah beban di kepala yang sejak sore menggumpal perlahan mencair bersama hembusan angin.
Kupikir, mungkin inilah yang kucari selama ini, bukan pelarian, bukan tawa palsu, tapi waktu untuk kepalaku berhenti berpikir. Waktu untuk diriku berhenti dan diam. Membiarkan waktu berjalan sesuka hatinya. Tanpa terbebani waktu akan membawaku menjadi seperti apa.
Benakku benar-benar tenang sekarang. Aku mulai bisa mendengar suara jangkirk yang sangat jelas. Tak ada yang berteriak. Tak ada yang berdebat. Tak ada yang menghakimi. Tak ada bisingnya manusia.
Semakin sepi pikiranku, semaki tajam inderaku. Dari kejauhan, kudengar suara motor lewat sekali-sekali, cepat, lalu lenyap. Dunia terasa begitu luas ketika tak ada siapa pun di sekitar.
Dalam diam, kurasakan sejuknya udara dini hari. Dingin tapi lembut. Tak ada hawa panas manusia. Udaranya segar. Membuat paru-paru terasa lebih lega.
Tak sadar aku terhanyut dengan sensasi itu. Rasanya dunia ini milikku seoang. Hanya aku, dini hari, dan sebatang rokok.
Hingga akhirnya aku tersentak dengan rasa panas di antara dua jari ku. Bara api itu telah sampai ujung. Reflek tanganku melemparnya ke genangan kecil di depanku.
Sebatang rokok yang sedari tadi menyala ternyata telah habis. Bahkan aku tak mengingat kapan terakhir kali mengisapnya saking terlalu dalamnya aku terhanyut oleh suasana dini hari.
Aku sadar, habisnya sebatang rokok ini menandakan berakhirnya masa tenangku. Tapi kali ini, gelisah tak buru-buru menghimpit lagi. Malahan rasa lega itu masih ada. Membuatku tersenyum tipis. Cukup sesaat merasakan ketenangan. Aku merasa semuanya akan baik-baik saja. Aku merasa bisa menghadapi semuanya lagi.