Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bukan fiksi yang menina-bobokan, apa yang aku tulis kali ini, adalah sebuah pengakuan, atau lebih tepatnya “kesaksian.”
1983. Dalam rapat koordinasi angkatan bersenjata, diputuskan pelaksanaan "Operasi Clurit." Sebuah operasi militer untuk menanggulangi tingkat kejahatan yang begitu tinggi, praktisnya menghilangkan “preman” itu sendiri. Kasarnya, mereka diberi hukuman tembak di tempat tanpa persidangan, dan tanpa tau dari mana tembakan itu berasal, PETRUS (Penembak Misterius).
1983. Di sebuah terminal di Kota Y, Bapak mencari nafkah dengan menjadi sopir bus, rutinitas itu Bapak lakukan setelah perusahaan tempat Bapak bekerja, gulung tikar. Seperti biasa, Bapak berangkat menuju terminal setelah dibuatkan bekal sarapan oleh Ibu, hal yang wajar mengingat sebagai sopir, Bapak harus sudah siap sebelum calon-calon penumpangnya siap.
1983. Ibuku adalah seorang Ibu rumah tangga, meski hanya tamatan SMP, tapi Ibuku adalah sosok yang cerdas, dan memiliki manajemen konflik yang baik, belakangan aku tau, itu semua berasal dari kecerdasan emosionalnya.
1983. aku berusia 9 tahun saat itu, anak yang tidak berkemampuan dalam berbagai hal, hanya bisa ngarit (mencari rumput) untuk sepasang sapi warisan simbah (kakek) di kandang belakang rumah.
1983. tepatnya pertengahan tahun, awal dari semua tragedi, bermula di terminal tempat Bapak biasa mengetem. Terjadi pertarungan antar geng preman, pertikaian diawali oleh Harso, ketua geng preman yang juga kenalan Bapak. Ia menghajar preman dari geng lain hingga tewas karena mengambil lahan parkir kekuasaanya, akhirnya meletuslah perang antar geng yang mengakibatkan aktifitas di sekitar terminal lumpuh total selama beberapa hari, dan mengakibatkan terbunuhnya puluhan orang.
1983. namun yang lebih mengerikan adalah apa yang terjadi setelahnya, ratusan orang yang terlibat peperangan antar geng, semuanya menghilang, tak terkecuali Harso. Dan jawaban dari menghilangnya Harso baru ditemukan tiga hari kemudian, setelah ia ditemukan terbungkus karung dengan lubang di kepalanya, Harso tewas.
1983. Bapak yang mendengar kabar itu, segera bersiap untuk melayat, namun niatnya dicegah oleh salah satu temannya, Karyo. “No! kowe ra sah layat, mengko kowe dadi inceran PETRUS!”
1983. Bapak mengindahkan peringatan Karyo, namun ironisnya, Karyo ditemukan tewas dengan kondisi jenazahnya tak jauh berbeda dengan Harso. Ia tewas setelah memperingatkan Bapak seminggu sebelumnya.
1983. ketakutan terlihat di wajah Ibu, Ibu khawatir nasib yang sama menimpa Bapak, setelah dua orang kenalan Bapak tewas dengan tragis. Ibu selalu menangis setiap Bapak berangkat ke terminal, Ibu menjadi cemas setiap harinya, membuat kesehatannya terus menurun dan menyebabkan ia sakit. Baru setelah menyadari kondisi Ibu, Bapak akhirnya menurut untuk tidak berangkat ke terminal.
1983. “lalu apakah itu menjadi solusi?” jawabanya “tidak”.
Pukul 07.30. Aku bersaksi dengan mata kepalaku sendiri, di kandang sapi belakang rumah, saat aku memberi makan sapi, saat Ibu memerah susu, dan saat Bapak membersihkan kandang. Saat itu, suara tembakkan mengaum.
aku bersaksi dengan mata kepalaku sendiri, dada Bapak merah bersimbah darah, ia tersungkur di antara kotoran-kotoran kandang.
aku bersaksi dengan mata kepalaku sendiri, wajah Ibu putih pucat melihat Bapak sekarat, mulutnya tak mampu berteriak, hanya isak dan sesak.
“Bapak bukan preman, meski Bapak menghabiskan hidup di jalanan, tapi Bapak bukan preman”
Aku dan Ibu menyaksikan kematian Bapak.