Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku lahir di tangan mesin yang tak pernah mengenalku. Logamku dibentuk dalam panas, diasah untuk memotong hal-hal kecil yang tumbuh dari manusia: kuku, sisa waktu yang tak dibutuhkan lagi. Katanya aku dibuat agar mereka bisa merasa rapi, bersih, teratur. Tapi tak seorang pun mengajariku bagaimana menghadapi yang tersisa. Potongan-potongan itu, yang selalu jatuh dan lenyap.
Pertama kali aku melihat tuanku, ia masih muda. Jemarinya kurus, dan kuku-kukunya panjang seperti seseorang yang menunggu sesuatu, mungkin keberanian, atau kabar. Ia menatapku di bawah lampu kamar kos, dan untuk sesaat aku merasa hidup: logamku berkilat di matanya, seperti cermin kecil yang menangkap kegelisahan. Ia menghela napas, lalu mulai memotong satu per satu. Setiap klik menggema di ruang yang terlalu sunyi.
Bertahun-tahun berlalu. Aku berpindah dari meja belajar ke laci kamar mandi, dari tas kerja ke kotak kecil berdebu di pojok lemari. Ia tidak lagi muda; tangannya kini kasar, seolah dunia pernah menolak untuk digenggam tapi akhirnya menyerah juga. Kadang ia berbicara sambil memotong kukunya, tentang pekerjaan, tentang kekasih yang pergi, tentang ayahnya yang mulai lupa nama. Aku mendengarnya semua, tanpa bisa membalas.
Ada masa ketika aku tak digunakan berbulan-bulan. Aku merasa berkarat oleh diam. Di laci itu, aku hanya bisa mendengar suara dunia dari luar. Hujan, piring pecah, tawa yang berakhir terlalu cepat. Kadang aku bermimpi masih berada di tangan tuanku, mendengar degup hatinya di setiap potongan kecil yang jatuh ke lantai.
Suatu malam, ia membukaku lagi. Tapi kali ini, tangannya gemetar. Ia duduk di depan cermin, mata merah, pipi lembab. Ada secarik foto di atas meja, wajah seorang perempuan yang tak lagi di rumah ini. Ketika klik pertama terdengar, aku tahu: ia tak sedang memotong kuku, tapi mencoba menghapus sesuatu dari dirinya. Setiap klik menjadi putusnya kenangan. Setiap potongan jatuh seperti hujan pendek yang tak menyejukkan siapa pun.
Lalu waktu melipat dirinya sendiri. Aku merasa ia semakin jarang menyentuhku. Kadang aku hanya melihat tangan lain, lebih kecil, lebih muda, yang mengangkatku dari laci. Mungkin anaknya. Gadis kecil itu tertawa setiap kali kukunya terpotong. Suaranya seperti bel kecil yang tak tahu makna kehilangan. Aku memantulkan wajahnya dalam kilat logamku, dan untuk sesaat aku berpikir: mungkin aku tidak hanya dibuat untuk memotong, tapi juga untuk mengingat.
Suatu hari, gadis kecil itu bertanya,
“Papa, kenapa kuku selalu tumbuh lagi?”
Tuanku menjawab pelan, “Karena tubuh selalu ingin memperbaiki yang hilang.”
Ia tersenyum, tapi matanya tetap sendu. Aku ingin berkata padanya bahwa ada hal-hal yang tak bisa diperbaiki, bahwa bahkan aku, yang tajam, tak bisa memotong kesedihan sampai tuntas. Tapi aku hanyalah benda. Aku hanya tahu cara memisahkan, bukan menyembuhkan.
Waktu berlalu lagi. Aku kini disimpan dalam kotak tua bersama jarum, benang, dan gunting rambut yang sudah tumpul. Kadang tangan tua itu masih mencariku, tapi jarang sekali. Ia kini memotong kukunya lebih lambat, dengan napas berat. Aku mendengar batuk, dengus, suara langkah yang semakin jarang. Sampai akhirnya suatu pagi, aku tak lagi mendengar apa pun.
Beberapa bulan kemudian, seseorang membuka kotak itu. Bukan dia. Ada suara perempuan muda yang berkata, “Ini milik ayah.”
Ia menatapku lama, lalu tersenyum tipis.
“Aku ingat bunyinya,” katanya, dan suaranya pecah di tengah kalimat.
Ia meletakkanku di meja, di dekat jendela. Cahaya matahari pertama setelah hujan menembus kaca, memantul di bilah logamku. Untuk pertama kalinya aku melihat debu menari di udara, pelan dan acuh. Aku terdiam, menunggu klik yang tak akan pernah datang.
Tapi di dalam diam itu, aku mendengar gema samar: suara potongan-potongan kecil yang jatuh, seperti kenangan yang tak benar-benar hilang, hanya berubah bentuk. Dan akhirnya aku mengerti, bahwa bahkan benda tajam pun bisa menyimpan yang lembut, dan bahwa beberapa kehilangan tidak perlu dipotong, cukup dibiarkan tumbuh kembali.