Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku pulang larut malam, dengan perut lapar. Rasa lapar memang tidak pernah jauh dari hari-hariku. Bedanya sebelum subuh tadi aku niatkan untuk puasa, Umi menyeduh segelas air dengan potongan jahe, dicampur madu.
Sebenarnya puasa Senin-Kamis rutin kami lakukan, bukan karena alim. Tapi karena kondisi ekonomi keluarga, menempa kami untuk bersahabat dengan keterbatasan.
“Daripada utang buat makan, lebih mulia puasa.” Begitu mendiang ayahku berpesan.
Tudung saji anyaman rotan yang biasa Umi gantung di dinding, malam ini diletakkan di atas meja. Sesuatu tersimpan dengan wangi menggugah. Aku tertegun, lapar, sekaligus bertanya sendiri.
“Ada acara apa?”
“Umi dapat uang dari mana?”
Selepas kepergian ayah, hanya aku, dan umi yang tinggal di rumah ini. Keempat adikku tinggal di pesantren penghafal Qur’an khusus anak yatim.
Kami mengambil keputusan itu dengan berat hati, sekali lagi bukan karena alim, keadaan ekonomilah yang memaksa. Tetapi, setidaknya keempat adikku memiliki kesempatan untuk meneruskan sekolah, dan tumbuh di lingkungan yang baik.
“Itu, sore tadi Mak Atun antar gulai, katanya aratan.” Umi menarik kursi di sampingku, ikut duduk.
“Sebelum yang lain ketularan, jadi ayam-ayam bangkok yang masih sehat sebagian dijual, sebagian lagi dipotong.”
“Ini ayam Kang Deden, Mi?” Aku terkesiap. Tersedak.
Melihatku kesakitan, Umi lekas memberikan segelas air putih.
“Kenapa, Gar?” Umi bertanya di sela-sela suara batuk.
Aku pernah tidak sengaja mengumpat. Aku meminta kepada Allah agar ayam-ayam bangkok Kang Deden mati. Aku menyerah, ratusan kali menasehati Kang Desen seperti melukis di atas air. Tetap, Kang Deden rajin menggelar judi sabung ayam.
“Mi, boleh nggak kita berdoa meminta hal buruk?” aku bertanya polos.