Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
Teras
0
Suka
2,655
Dibaca

Teras itu tak pernah berubah. Kursi tua masih bersandar ke dinding, berderit pelan setiap kali Pak Didik duduk. Secangkir kopi dan sepotong roti tawar menemani paginya yang hampa. Kadang, ia menyiapkan dalam dua cangkir dan dua piring. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk siapa pun yang mungkin akan datang. Namun, hingga kopi dingin dan roti kering, tak pernah ada yang menyentuhnya.

Dulu, teras itu penuh suara. Bu Nani menyiram bunga sambil bersenandung. Satrio duduk di pangkuannya, bercerita tentang sekolah dan cita-cita. Sekarang, hanya ada suara angin yang menyapa. Singgah sebentar, menyematkan dingin dan hening.

Sepi menyelimuti seperti rumput di halaman. Terus tumbuh, menjalar ke semua sudut. Pak Didik menegakkan badan, menoleh ke luar pagar. Ia bersiap dengan senyum yang sudah dilatih lama di depan cermin. Menyambut Satrio pulang, atau kehadiran sang istri—walau dalam mimpi.

“Bu, daun jambunya kok beguguran terus, ya,” gumamnya, memegang ranting yang rapuh.

Ia menatap ranting itu sejenak, lalu meletakannya di atas meja. Jemarinya bergetar ditekan kesunyian. Waktu terus berputar, hanya memperbanyak uban di kepala.

Suara salam menggema di depan barisan besi berkarat. Nyaring. Membawa harapan. Pak Didik sontak bangkit, meluruskan punggung yang mulai membungkuk.

“Tio…” suaranya pecah, separuh yakin.

Sayangnya, bukan. Anak muda yang mengucapkan salam itu berdiri di teras rumah sebelah. Tangannya menarik koper dan menenteng kardus bekas mi instan. Ia tampak baru pulang dari rantau. Disambut haru oleh pelukan ibunya.

Pak Didik terpaku. Senyum di bibirnya menggantung, dan perlahan luruh bersama napas yang ditahan. Ia kembali duduk, memandangi kopi yang uapnya sudah lenyap.

Tanpa sadar, air matanya menetes. Ia buru-buru menyekanya, kemudian menatap langit, menyampaikan doa yang diucapkan oleh hati.

Sudah berhari-hari Satrio tak menghubungi. Terakhir kali mereka berbicara, sang putra berkata bahwa akan menelpon balik “nanti malam.” Namun, malam telah berubah menjadi esok, lalu menggulung menjadi minggu-minggu yang kelabu. Menunggu dalam rentang tak tentu.

Pak Didik mengambil ponsel ke dalam rumah. Layarnya memantulkan wajahnya sendiri. Keriput, pucat, tetapi masih mencoba tersenyum. Ia membuka pesan baru, menekan tombol-tombol keras dengan mata yang tak lagi awas. Huruf demi huruf dirangkai dengan ragu. Dihapus. Ditulis ulang lagi.

“Nak, kapan kamu libur? Bapak rindu.”

Pesan terkirim. Ponsel terus digenggam, layar tak henti ditatap.

Matahari naik, cahayanya menyusup ke sela daun jambu. Bayangan kursi memanjang ke arah jalan. Pak Didik meneguk kopi yang sudah berubah rasa dan aroma. Roti yang mengeras ia habiskan juga, menelannya dengan susah payah.

Ia masih di teras. Masih setia menanti ponselnya bergetar.

Sementara itu, tawa anak muda yang tadi melambung bersama tawa ibunya. Ringan, indah, dan bahagia. Membelai hangat, mengalir dalam getir. Pak Didik menunduk, mengusap kedua lututnya. Bukan iri, melainkan membayangkan nuansa yang sama yang akan hadir ketika Satrio pulang.

“Mungkin Tio sedang sibuk,” bisiknya. “Bapak akan tunggu balasanmu sampai kapan pun, ya, Nak.”

Pak Didik beranjak dari teras. Pintu rumah ditutup rapat, menahan sinar siang yang merambat di ambang. Di dalam, hanya ada detak jam dan bunyi napasnya sendiri. Ponselnya berkedip sekali. Setelahnya, padam lagi sebelum sempat ia lihat.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Flash
Kilat Karma
Athar Farha
Flash
Teras
Jasma Ryadi
Novel
Tatkala
@mahartania__
Novel
Kita yang Saling Ingkar
Zuyaa
Skrip Film
Mungkin Butuh Waktu
Imajinasiku
Novel
Iridescent
Putri Dila Yustianti
Novel
HARU
Aram
Novel
Bronze
Kang Azzam: Sang Kiai dan Metamorfosa
Imajinasiku
Novel
Masihkah Kau Mencintaiku?
Lunette
Skrip Film
andai
Hank Wijaya
Flash
Bronze
Lelaki Pembenci Buku (Membicarakan Adam 5)
Silvarani
Novel
Menikah Ke-3 Kali
farhana
Novel
TEARS OF A MAN
Bhina Wiriadinata
Novel
First Love
Ika nurpitasari
Skrip Film
HONORER
Eko Triono
Rekomendasi
Flash
Teras
Jasma Ryadi
Flash
Maaf, Aku Lelah
Jasma Ryadi
Flash
Mengapa Harus Ada Cinta dalam Pernikahan
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Ketika Milo Mati
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Anto dan Sebatang Rokok
Jasma Ryadi
Flash
Bagaimana Jika Aku Menjadi Umbi-Umbian?
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Prenuptial Agreement: Antara Luka dan Logika
Jasma Ryadi
Flash
Sisa Siang
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Unfinished Business
Jasma Ryadi
Flash
Semangkuk Bakso
Jasma Ryadi
Flash
Bu, Mengapa Orang-Orang Mati?
Jasma Ryadi
Flash
Gerimis yang Percuma
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Setelah Malin Menjadi Batu: Doa Uni Salamah
Jasma Ryadi
Flash
Sisa Rindu
Jasma Ryadi
Flash
Republik Kucing
Jasma Ryadi