Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Namaku Pilu. Dalam KBBI, aku berarti a. sangat sedih, terharu (rawan). Lawanku adalah bahagia. Tak perlu ku jelaskan apa itu bahagia kan? Semua orang ingin merasa bahagia.
Sama seperti tuanku saat ini. Dia ingin bahagia, tapi sepertinya dia terjerembab dalam jurang ketidakpedulian. Mana ada orang ingin bahagia tapi tiap hari dia hanya meenganggap kebahagiaan itu semu.
Sebenarnya dulu dia sering bahagia, meski sesekali aku muncul, tapi dia bisa kembali bahagia dan menguburku dalam-dalam.
Tapi setelah ia tinggal di gubuk kumuh, lalu terjerat patah hati, lowongan pekerjaan yang tampak nihil, dan beban ekonomi di pundak, ia jadi lupa apa itu bahagia.
Tuanku jadi tak percaya, bahwa bahagia itu ada. Tiap hari ia menyesap rokok yang harganya paling murah, sambil berkata, "Hidup memang tempatnya pilu."
Namaku seakan jadi dzikir tiap dia bernapas.
Pilu, pilu, pilu.
Aku tidak tahu apa yang dia dapat dengan terus mendengungkan namaku dan memberiku peran sebagai penguasa hidup.
Yang aku tahu, kehadiranku hanya mempertebal asap kelemahannya. Dia jadi makin tidak percaya pada bahagia.
"Apa itu bahagia? Nanti bakal sedih lagi," ujarnya satu waktu.
Padahal, apa salahnya ketika aku dan bahagia datang silih berganti? Dulu, kehadiranku bisa membuat tuanku menemukan bahagia. Dia melamun di teras rumah, menikmati diriku yang mencabik hatinya, lalu dengan tegas berkata, "Sialan kau, pilu! Aku tidak akan membiarkan luka ini memakan diriku!"
Setelah itu, aku–yang hanya sebuah kesedihan–tersenyum, dan membiarkan rasa bahagia perlahan muncul. Aku sudah kalah telak atas tekad tuanku itu.
Begitulah tugasku selesai. Berganti dengan peran si bahagia yang membuat senyum di bibir tuanku merekah.
Tapi itu dulu.
Sekarang?
Tuanku justru menjadikanku sebagai dzikir.
"Aku memang pantas terluka. Dan memang tidak pernah ada bahagia di dunia. Bahagia itu cuma semu aja!"
Kadang, aku mencabik hati tuanku lebih keras, tapi ia justru makin tenggelam. Tuanku menyerahkan hidupnya padaku, si pilu, yang kadang membuatnya bijak jika mau berenang ke permukaan.
Tapi tuanku tidak pernah mau berenang ke permukaan. Padahal, hanya dia yang punya peran atas semua rasa di hatinya.
Kau tahu? Kadang bahagia bertanya padaku, "Kenapa tuan kita lebih menyukaimu?" katanya.
"Karena baginya, kamu sulit didapatkan dan dia menyerah untuk meraihmu," jawabku.
Lalu pertanyaan bahagia selanjutnya membuatku makin pilu, ini kali pertama aku melihat bahagia yang merasa pilu.
"Tidak bisakah kau membuat dia sadar, pilu? Buat dia kembali ingin meraihku. Kau kan.. Ahlinya mencabik hati untuk mengundang kebijaksanaan."
Aku berdecak, "Apa kau lupa, bahagia? Aku ini pilu. Aku rasa yang sangat sedih.. Aku bisa mengundang bijaksana kalau tuan 'mau' mengatasiku. Tapi tuan kita memelukku erat, bahkan memberiku tahta di hidupnya."
Bahagia diam.
"Aku ini pilu, bahagia. Aku hanya tahu rasanya memberi kesedihan dan ketakutan. Kau juga harusnya hanya tahu rasanya memberi bahagia. Kadang kau menjebak, tapi juga kadang mengundang bijaksana. Tapi itu bukan kehendakmu, kan?"
Bahagia kini menunduk. Lalu pergi. Sementara aku? Makin dalam dasar lautan milikku.
Harusnya tuanku tidak tenggelam. Harusnya dia percaya bahwa bahagia masih ada. Harusnya... ia tahu bahwa tak masalah meski ada aku dan bahagia yang datang silih berganti.
Semua ini memang berawal dari kerumitan hidup yang datang. Membuat aku harus mencabik tuanku makin buas. Tapi harusnya tuanku tahu, kadang aku datang sebagai ujian, agar dia lebih baik dalam mengatasiku yang bisa datang lebih bertubi-tubi di waktu yang lain.
Harusnya tuanku bisa. Sebab jika tidak, aku tak bisa pergi.
Aku ingin pergi sebentar. Bahagia pasti ingin memeluk tuan juga. Tapi bagaimana caranya aku pergi ketika tuanku bahkan memeluklu makin dalam ke dasar laut kepiluan?
Sampai kapan dia akan tenggelam dan terus menyebut namaku?