Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Langit Tak Pernah Benar-Benar Gelap”
Dunia yang pertama kali dikenali Hanna adalah dunia yang berbau tajama amarah dan kebisingan pertengkaran. Ia tak ingat bagaimana rasanya hidup tanpa beban. Sejak usia lima tahun, setiap sudut rumah terasa seperti medan perang yang tak mengenal kata damai. Keluarga, yang seharusnya menjadi jangkar, justru menjadi badai. Lidah-lidah berbisa meluncurkan kata-kata yang menjadi luka tak terlihat, namun terasa begitu dalam, mengukir pahit di dinding jiwanya.
“ANAK SEPERTI KAMU TIDAK AKAN PERNAH BISA SUKSES!”
”KALAU KAMU TIDAK MENURUTI PERKATAANKU, KAMU SAMA SAJA BODOHNYA DENGAN ORANG TUAMU!”
Bahkan, suara-suara di luar lingkaran inti pun ikut menyayat.
“Kamu tau kan, Nduk? Selama ini hidup keluarga kecil kalian terus saja berakhir menyedihkan dan tidak berarti!”
Kalimat-kalimat itu, baik yang menyerangnya langsung maupun yang menyudutkan kedua orang tuanya, terus menggema. Setiap gemanya menancapkan rasa bersalah yang tak terelakkan. Hanna meyakini sepenuhnya bahwa semua itu adalah tanggung jawabnya.
Waktu duduk di bangku sekolah dasar, penderitaan Hanna berlanjut dan bahkan kian memburuk. Ia bertransformasi menjadi 'pembantu' tanpa upah bagi sekelompok siswa. Hampir setiap hari, daftar tugasnya dimulai dengan membawakan tas-tas tebal milik mereka dari gerbang hingga ke lantai kelas, hingga punggung kecilnya terasa kram. Begitu duduk, ia harus segera mengerjakan PR dan tugas menyalin milik Clara, si ketua geng. Tak jarang Ia juga harus mengantre di kantin untuk membelikan makanan sambil menahan lapar. Tiba-tiba, sebuah sentakan keras di bahu membuatnya tersentak.
"Hei! Kenapa wajahmu ditekuk begitu? Kau lelah, ya?" cibir Clara dengan nada mengejek yang menjijikkan.
"Cih, anak lemah sepertimu memang pantasnya hanya jadi babu di sini!" Sahut salah satu dari mereka mengejek, lalu mereka mulai mendorong, menarik, dan sesekali memukulnya. Mereka memastikan setiap perintah dipatuhi.
Tragisnya, perundungan ini seolah mendapat izin tak tertulis dari otoritas sekolah. Ketua geng itu adalah cucu kesayangan kepala sekolah, sebuah fakta yang diketahui semua siswa. Ancaman dan arogansi pelaku seakan tak tersentuh, sehingga anak-anak lain hanya bisa memilih untuk diam dan berpura-pura tidak melihat.
Namun, di balik keengganan untuk menolong di depan umum, beberapa siswa diam-diam menunjukkan kebaikan mereka kepada Hanna. Terkadang berupa senyum prihatin yang tersembunyi, atau sedikit jajan yang diselipkan ke laci mejanya saat Hanna belum tiba di kelas.
Hanna belajar menelan pahitnya kenyataan hidupnya, seperti anak kecil yang dipaksa meminum obat dengan harapan suatu hari rasa itu akan hilang.
Di malam-malam yang sunyi, ia sering duduk di tepi ranjang, menatap jendela gelap yang hanya memantulkan bayangannya yang sendirian. Sebuah pikiran berbahaya berulang kali melintas. Bagaimana jika aku berhenti saja? Satu-satunya yang membuatnya bertahan adalah bayangan adiknya, Rayyan. Ia telah pergi lebih dulu, ke tempat yang Hanna yakini jauh lebih tenang, dunia tanpa teriakan dan luka. Ada saat-saat di mana Hanna ingin menyusulnya, menghentikan hentakan jantungnya, dan menyerah pada hidup.
Namun, di suatu malam yang dingin, saat keputusasaan hampir menelan habis keberaniannya, Hanna menyungkum tanah di sepertiga malam. Ia berbisik pada Tuhan, mengadukan segala lelah yang membebani punggungnya. Seketika, sebuah ayat muncul dalam benaknya, terasa seperti pelukan yang menenangkan.
"Laa yukallifullahu nafsan illa wus'aha,..”
("Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” - QS. Al-Baqarah: 286).
Air matanya berderai cukup lama hingga membasahi sajadah. Jika Engkau percaya aku sanggup, maka bimbinglah aku, gumamnya. Hanna bangkit dari sujud dengan kepercayaan yang baru. Tidak, ia tidak akan menyerah. Ia harus menjadi lebih kuat. Untuk dirinya, untuk Rayyan, dan untuk janji yang baru saja ia ukir di dalam hati.
Pagi itu, di tengah masa sekolah menengah atas, ia kembali merasa rapuh. Beban pikirannya meluap, rasa pahit hidupnya kembali mendera, membuat dadanya terasa berat, dan dinding pertahanannya runtuh bersama buliran air mata. Saat jam pelajaran hampir dimulai, lagu "Indonesia Raya" tiba-tiba berkumandang. Mengharuskan seluruh warga sekolah berdiri dengan hormat dan bernyanyi lantang. Namun, hati Hanna bergetar antara sedih dan jengkel. Bagaimana aku bisa berdiri gagah di tengah kehancuran seperti ini? Hanna menutup wajah dengan kedua tangan, menangis terisak-isak di antara barisan teman-teman yang berdiri tegak.
Ia pikir ia akan sendirian lagi, dicibir, atau diabaikan. Tapi kemudian, ia merasakan sentuhan lembut di punggungnya. Teman sebangkunya, Fina. Seorang gadis pendiam dengan tatapan mata teduh, mengelus punggungnya pelan. Ia tak berkata apa-apa, hanya mencoba meredakan tangis Hanna dengan kehangatan tangannya. Hanna menoleh dan melihat tatapan gadis itu, penuh pengertian, tanpa menghakimi. Tidak ada kalimat bijak yang ia lontarkan, namun kehadirannya menjadi sandaran kecil di tengah badai yang dihadapi Hanna.
Hari-hari berlalu, dan Hanna mulai menyadari bahwa di tengah gelapnya hidup, selalu ada bintang kecil yang berkelap-kelip. Para pendidik yang suportif, teman-teman yang bersedia mendengarkan kisahnya melalui aksara yang ia rangkai, bahkan senyuman kecil dari orang-orang asing di jalan. Semuanya seperti cahaya yang memandu langkahnya.
Jika ia bisa bertahan hingga hari ini, bukankah itu berarti ia lebih kuat dari yang pernah ia bayangkan?
Kini ia berusia tujuh belas tahun. Malam-malam panjangnya tak lagi diisi dengan tangis atau renungan kelam. Sebaliknya, ia mengisinya dengan doa dan tekad. Ia menatap cermin dan bertanya pada dirinya sendiri,
"Apa yang akan aku lakukan hari ini untuk mendekatkan diriku pada mimpi?"
Hanna tak lagi hanya bertahan, ia mulai melangkah. Ia akan belajar lebih giat, menuliskan mimpi-mimpi yang selama ini ia sembunyikan. Ia ingin menjadi bintang.
Tentunya jalan menuju bintang penuh duri, dan ada hari-hari di mana ia kembali tergelincir dalam rasa lelah. Tapi setiap kali ia hampir menyerah, ia mengingat doa-doa di malam sunyi, tangan yang menopangnya saat dirinya jatuh dan keyakinan bahwa Tuhan tidak pernah membebaninya melebihi kesanggupannya.
Hanna berdiri di sini, melangkah dalam senyap. Bukan berarti ia tak lagi terluka, tetapi ia belajar merawat lukanya sendiri. Ia percaya, setiap luka yang ia bawa adalah bagian dari lukisan besar yang sedang Tuhan ciptakan dalam hidupnya. Langitnya pernah terasa gelap gulita, namun ia tahu, ‘Langit Tak Pernah Benar-Benar Gelap.’ Selalu ada janji cahaya di balik awan. Langkah kecil dalam keheningan yang ia ambil hari ini, adalah awal dari perjalanan menuju cahaya yang jauh lebih besar.