 
				 
							Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hujan selalu membawa aroma yang sama di kafe tempatku bekerja. Campuran antara biji kopi yang baru digiling dan tanah basah yang menyelinap dari celah pintu. Setiap kali rintiknya datang, lampu di dalam kafe jadi tampak lebih hangat, lebih lembut. Dan seperti biasa, di pojok dekat jendela besar itu, selalu ada seorang pria tua yang duduk diam sambil menatap keluar.
Pak Bima.
Aku tak tahu sejak kapan ia mulai datang ke sini. Kata rekan kerjaku, sejak kafe ini pertama buka dua tahun lalu, pria itu sudah jadi langganan tetap. Selalu di meja yang sama, selalu memesan kopi hitam tanpa gula, dan selalu datang hanya saat hujan turun. Seolah-olah hujanlah yang membawanya ke kafe ini.
Waktu pertama kali aku bekerja di sini, aku pikir ia hanya orang tua kesepian yang butuh suasana. Tapi setelah beberapa kali kulihat cara ia menatap jendela, bukan ke arah jalan, melainkan ke titik tertentu yang hanya ia tahu, aku berpikir bahwa ia sedang menunggu seseorang atau sesuatu di sana.
Suatu sore, rasa ingin tahuku menang.
“Bapak nunggu seseorang, ya?” tanyaku sambil menaruh cangkir kopinya di meja.
Ia menatapku sebentar, lalu tersenyum kecil.
“Mungkin,” katanya. Hanya itu.
Jawaban menggantung itu anehnya menempel di kepalaku lama sekali.
***
Seiring waktu, aku mulai memperhatikan lebih banyak hal tentangnya.
Cara ia menyentuh cangkir sebelum menyesapnya — lembut, hati-hati, seperti takut memecahkan sesuatu yang rapuh.
Cara ia tersenyum setiap kali hujan makin deras.
Bahkan cara ia menggulung lengan bajunya dengan gerakan yang selalu sama, seolah rutinitas itu menahan sesuatu agar tak bocor dari dadanya.
Aku tak tahu kenapa, tapi tiap kali melihatnya, aku merasa seperti sedang menonton seseorang menjaga kenangan agar tetap hidup. Bernostalgia dengan sesuatu yang tak kupahami apakah itu.
Suatu sore, saat hujan turun lebih deras dari biasanya, ia mulai bercerita tanpa kutanya. Kebetulan kafe sedang nggak terlalu rame. Hanya Pak Bima dan empat geng anak sekolahan. Aku mengambil sebuah baskom kecil ke dekat tempat Pak Bima duduk biasanya. Ada bocor kecil di langit-langit.
“Dulu, waktu tempat ini masih warung kopi murahan, aku sering duduk di sini juga. Cuma meja kayu panjang, kursinya plastik, dan atapnya bocor di ujung sana,” katanya sambil menunjuk langit-langit.
Aku menatapnya. Beliau tersenyum. “Waktu itu aku sering datang sama seseorang. Katanya, kalau nanti hidupnya sudah beres, dia bakal balik, dia mau traktir aku kopi paling mahal di tempat ini.”
Ia tertawa kecil, tapi suaranya terdengar serak.
“Eh, sekarang tempatnya udah mahal beneran. Tinggal orangnya aja yang nggak sempat balik.”
Aku tidak tahu harus menanggapi apa. Hanya diam, berdiri di sebelahnya sambil mendengarkan.
Hujan di luar seakan menutup setiap jeda dalam percakapan itu.
***
Sejak hari itu, entah kenapa aku selalu menunggu kedatangan Pak Bima. Bukan karena pesanan kopinya — tapi karena keberadaannya membuat kafe ini terasa berbeda.
Ia tak pernah mengeluh, tak pernah terlihat sedih. Tapi entah kenapa, setiap gerakannya memantulkan rasa kehilangan yang tenang.
Aku pernah bertanya lagi padanya, pelan-pelan.
“Kalau orang itu nggak datang, Bapak nggak capek nunggu?”
Ia menatapku lama, lalu berkata,
“Aku cuma duduk. Dunia yang berputar, bukan aku.”
Aku tidak langsung paham maksudnya. Tapi kata-kata itu seperti meninggalkan jejak di pikiranku — membekas lama, seperti ampas kopi di dasar gelas.
***
Suatu sore, ia datang membawa sesuatu. Sebuah biji kopi kering, kecil, dan sedikit retak di ujungnya.
“Ini biji terakhir dari pohon yang dulu aku tanam di rumah. Biji ini yang pertama kali aku kasih ke dia, waktu kami masih di warung kopi lama,” katanya pelan.
“Kalau nanti aku nggak datang lagi, seduhlah ini.”
Aku tersenyum, meski tak paham maksudnya sepenuhnya.
“Bapak ngomong begitu kayak mau pamit aja.”
Ia hanya tertawa kecil.
“Mungkin.”
Setelah hari itu, ia benar-benar tak datang lagi.
***
Beberapa minggu berlalu. Hujan datang berkali-kali, tapi kursi di pojok jendela itu tetap kosong.
Awalnya aku menaruh cangkir di sana, berharap ia tiba-tiba muncul dan berkata, “Tambah gula satu sendok, boleh?” seperti dulu. Tapi tak pernah terjadi.
Padahal aku berniat akan menyeduhkan kopi dari biji pemberiannya. Tapi karena beliau tak kunjung datang, akhirnya aku yang menyeduh kopi itu.
Rasanya pahit, sedikit lebih kental dari kopi biasanya. Tapi ada sesuatu yang aneh — rasa hangat yang samar, seperti perasaan yang belum selesai. Aku letakkan cangkir itu di mejanya, lalu duduk diam di seberang, memandangi hujan.
Entah kenapa, sore itu aku merasa seolah sedang menemani seseorang pergi.
***
Sekarang setiap kali hujan turun, aku masih menatap kursi di pojok itu.
Tak lagi dengan rasa iba, tapi dengan semacam penghormatan.
Ada sesuatu yang tumbuh dari penantian itu, bukan seseorang yang kembali, tapi pemahaman kecil bahwa harapan, seaneh dan sekelam apa pun, kadang adalah satu-satunya cara seseorang bertahan hidup.
Aku tidak tahu siapa yang ditunggu Pak Bima.
Mungkin kekasihnya, mungkin anaknya, mungkin masa lalunya sendiri. Tapi aku tahu satu hal, saat ia berhenti datang, hujan terasa berbeda. Seolah sebagian dari dirinya tertinggal di sini, di aroma kopi, di bayangan hujan di balik jendela kaca.
“Mungkin memang bukan orang itu yang ditunggu Pak Bima selama ini,” bisikku suatu kali. “Mungkin yang ia tunggu adalah dirinya sendiri. Menunggu mengikhlaskan harapannya untuk seseorang yang tak akan pernah menepati janjinya.”