Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hidup memang tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang kita harapkan. Sesekali harus ada kerikil yang menghalangi jalan kita. Entah sebagai pengingat ataupun menjadi kesempatan untuk tumbuh. Namun, seseorang tidak menyadari betapa berharganya kerikil yang telah menghentikannya itu. Ia masih saja merutuki kegagalan yang baru saja terjadi padanya.
Vano, salah satu atlet terbaik lompat tinggi SMA Hanusa, kini berusaha mengubur rasa kecewanya. Bagaimana tidak, ia tidak bisa pulang sebagai pemenang. Sementara Yerin, adik kelasnya yang pernah ia permalukan saat Masa Orientasi Siswa itu berhasil mendapatkan juara pertama untuk lompat tinggi putri. Entahlah, antara malu, marah, kecewa, semuanya telah jadi satu memenuhi pikirannya.
Ia tidak tahu harus kemana sekarang. Sejak medali emas pertama ia dapatkan, tidak ada lagi teman-teman yang merangkul bahunya. Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah menyeret kakinya menyusuri jalan setapak di pinggir sungai, ditemani oleh hembusan angin yang mungkin menjadi satu-satunya hal di dunia ini yang masih ramah padanya.
***
"Yerin! Gawat. Kak Vano," jerit Shindi.
"Ada apa?" Yerin hanya melirik sebentar kemudian menyeka keringat di dahinya.
"Seseorang melihatnya di dekat sungai." Shindi terlihat semakin heboh. Ia bahkan menepuk-nepuk lengan Yerin agar sahabatnya itu bergegas.
"Lalu?"
"Oh, ayolah! Kenapa kau sama sekali tidak peka?" pekik Shindi panik. Ia pun langsung mengisyaratkan dengan menggerakkan jari telunjuknya naik, kemudian menukik turun dengan tajam.
Yerin yang akhirnya paham pun langsung bangkit dari tempat duduknya dan berlari keluar kelas. Ia tidak bisa hanya diam saja. Yerin tahu masalah yang dihadapi Vano dan bagaimana Vano harus menanggung malu karena kalah di depan adik kelas seperti dirinya. Terlebih karena orang tua Vano selalu menginginkan kejuaraan ada di tangannya.
Yerin mempercepat langkahnya. Ia harus menyelamatkan Vano yang mungkin saja akan melakukan hal konyol kapan saja, contohnya seperti yang diisyaratkan Shindi. Ya, ia harus menyelamatkan pemuda yang ia suka.
"Apakah ini yang dilakukan seorang laki-laki setelah kalah dalam pertandingan?"
Ujung sepatu Vano yang semula sudah berada di tepi sungai itu kini melangkah mundur. Vano mencengkeram tepi jembatan dengan kuat sementara tubuhnya masih gemetar. Lagi-lagi ia harus menanggung malu karena ulahnya sendiri.
"Aku tahu kau ini atlet lompat tinggi, tapi kurasa ini bukan tempat yang tepat untuk latihan."
"Kau ingin meledekku?" geram Vano. Namun ia tak berani menatap Yerin.
Yerin menghampiri Vano dan berdiri di sampingnya, menatap sungai yang terhampar di hadapan mereka, kemudian berbisik pelan, "Kau hanya perlu teman bicara."
"Teman? Aku bahkan tidak punya teman. Mana teman-teman yang mengatakan akan selalu ada untukku? Tidak ada. Mereka membenciku karena aku tidak pernah meluangkan waktu untuk mereka."
"Kau terlalu berambisi untuk menang. Kau yang perlahan menjauh dari mereka, bukan sebaliknya. Bahkan ambisi itu telah membuatmu berlari tanpa peduli pada apa yang terjadi di sekelilingmu."
"Kau bahkan tidak tahu apa-apa. Jangan ikut campur! Jangan sok peduli padaku!"
Yerin tidak peduli. Ia masih melanjutkan ucapannya. Suaranya tenang namun berusaha untuk tegas, meski Vano terlihat acuh tak acuh. "Kau mungkin tidak bisa berhenti mengumpat pada kerikil yang telah menghalangi jalanmu. Tapi kau harus tahu satu hal, kerikil itu sangat berharga. Kau harus berhenti sebentar untuk menyingkirkan kerikil itu, tapi jangan lupa untuk menikmati pemandangan indah di sekelilingmu juga."
"Aku tidak mengerti." Dahi Vano berkerut, namun lagi-lagi ia masih menghindar bertatapan dengan gadis di sampingnya.
"Maksudku jangan terlalu memaksa. Semakin kau memaksakan diri, semakin banyak sesuatu yang akan hilang darimu. Kau harus melihat pemandangan indah yang pernah kau lewatkan," ucap Yerin seraya menarik lengan Vano dan mulai berlari.
Vano berontak, tapi ia tidak menyangka Yerin sama kuatnya dengan dirinya. Berkali-kali ia mencoba melepas tangan Yerin, gadis itu akan semakin mencengkeram lengannya. Pada akhirnya, ia menyerah. Ia turuti kemana gadis itu akan membawanya.
Yerin baru mengendurkan cengkeramannya dan berhenti ketika mereka berdiri beberapa meter dari tempat mereka bertanding tadi. Enam pemuda yang mengenakan seragam dari SMA Hanusa berkumpul di sana. Beberapa dari mereka ada yang membawa atribut untuk mendukung Vano. Senyum Vano perlahan terlukis, terlebih ketika mereka menoleh dan melambaikan tangan padanya.
"Mereka tidak akan disini kalau mereka membencimu. Mereka tetap mendukungmu walaupun kau tidak pernah menyadarinya." Sekilas Yerin melirik Vano yang masih menatap teman-temannya. "Kau bahkan tidak sadar mereka selalu hadir di setiap pertandinganmu, kan?"
"Berapa banyak pemandangan indah yang telah kulewatkan?" tanya Vano dengan kedua mata yang telah berkaca-kaca. Tak ingin larut dalam penyesalan, Vano pun segera menyeka air matanya dengan kasar dan memberi Yerin pelukan singkat, sebelum akhirnya berlari menghampiri mereka.
"Aku tidak akan membiarkanmu melewatkan pemandangan seindah ini lagi. Aku akan selalu di sampingmu dan menghentikanmu saat kau berlari terlalu kencang," bisik Yerin begitu melihat Vano memeluk teman-temannya dan hanyut dalam tawa bahagia.