Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Cucuku, kamu sedang apa di situ?" Kakek penasaran, saat menemukanku di depan kulkas.
Kakiku yang pendek berjingkat mencoba meraih pintu freezer.
"Aku sedang membekukan air mata, Kek," sambil kulempar senyuman.
Aku memasukkan gelas yang terisi beberapa tetes air mataku, hampir tampak di dasar gelas itu hanya sedikit yang berhasil kukumpulkan hari ini.
"Sejak Kakek tak lagi tinggal di rumah ini, sulit sekali aku melihat Ibu dan Ayah tertawa sampai meneteskan air mata," tambahku dengan nada protes dan cemberut.
Kakek mengangguk. Dia berdiri tak seberapa jauh dariku. Tubuh kakek ditopang tongkat. Dia masih berdiri menawan meskipun tampak sudah tua sekali.
"Aku mancung, mirip kakek ya?" Aku memuji diriku sendiri.
Akibat kulihat dari dekat wajahnya, teringat Kakek sedang membenarkan batang kacamatnya yang kadang melorot.
"Ah Cucuku, bisa saja."
Aku dan Kakek seolah-olah sedang berpelukan, tawaku pecah lagi. Sampai air mata bahagiaku jatuh.
Tidak jauh dari ruang keluarga, terdengar sepasang orang bertengkar. Bunyi pintu dibanting, beberapa benda-benda pecah, jatuh ke lantai dan juga teriak caci-maki bersahutan.
"Dasar kamu pembohong?!"
"Kamu juga tak bisa mengurus rumah dan merawat anak?!"
Aku langsung menutup kedua telingaku, karena aku takut. Itu suara Ayah dan Ibu, yang kerap mengisi hari-hariku kini.
"Kamu takut, Cucuku?"
"Iya, Kek, aku takut sekali. Setiap mereka bertengkar, pasti Ibu akan menangis, dan Ayah tak akan pulang berhari-hari."
"Jangan takut, Nak! Kamu akan baik-baik saja. Mereka sedang punya masalah, doakan saja!"
"Iya, Kek. Aku akan memberikan es air mata bahagia buatanku untuk mereka. Biar mereka ingat, aku pun rindu menangis bahagia!"
Aku mengalihkan pandangan, hanya berselang waktu sejenak, Kakek menghilang jadi potret yang terbingkai di dinding.
"Gara-garamu, lihat, anak kita ga keurus! Dia jadi sering bicara sendirian!"
"Kamu jangan menuduh sembarangan, anak kita baik-baik saja! Kamu saja yang gila, sendirian!"
Ayah dan Ibu menghampiriku, kedua tangan mereka berebut menarik lenganku.
"Aduh, es air mata bahagiaku masih lama bekunya. Padahal, sekaranglah waktu yang tepat memberikannya kepada mereka berdua."