Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Mengapa betah melajang? Memangnya, tidak ingin menikah? Sampai kapan mau hidup sendiri? Apa tidak takut kesepian ketika tua nanti?
Pertanyaan itu meluncur dari suara yang sudah lama tak kudengar. Teman sekolah di bangku menengah atas, tidak akrab, menelepon di tengah malam. Awalnya hangat, kami mengulas hari-hari yang polos. Kemudian, suhu meningkat ketika nadanya terkesan menginterogasiku.
Bagi sebagian orang, mungkin kesendirian tampak begitu menyeramkan. Sementara, bagiku, biasa saja. Hati bukannya betah tanpa ada yang mengisi. Bukan pula tak berusaha mencari yang bisa menemani. Pernah beberapa kali menjalin kasih, tetapi sebanyak itu juga tak sampai pelaminan.
“Kirain lu sama Wahyu bakalan berjodoh. Padahal, kalian serasi banget. Emang putusnya kenapa, sih?” tanyanya, tanpa jeda.
Aku terdiam sejenak. Wahyu. Nama terakhir yang kukira akan tersemat dalam satu buku denganku. Ternyata, hanya menitipkan jejak di hati bagaikan tinta yang tak bisa dihapus.
“Karena kami sama-sama ingin bahagia, tapi dengan cara yang berbeda,” jawabku pelan.
Dia membangkitkan kenangan yang sudah lama kusimpan rapi. Hubungan-hubungan yang pernah kujalani, harapan-harapan yang sempat tumbuh, dan keputusan-keputusan yang akhirnya harus diambil. Semua itu bukan sekadar masa lalu, melainkan bagian dari prosesku memahami diri sendiri.
Aku nyaman denganku duniaku saat ini. Menata hari tanpa ikatan dengan siapa pun. Lantas, salahkah seandainya aku memilih untuk merawat hidupku saja?
Benar. Manusia makhluk sosial. Sejatinya, selalu membutuhkan kehadiran orang lain dalam keseharian. Hanya saja, ini perasaan. Jalinannya tak sekadar hubungan fungsional maupun transaksional. Ada emosi yang harus saling dimengerti sepanjang satu ranjang. Ada setia dari perilaku dan bahasa yang harus saling menetap sepanjang satu atap.
“Cuma kamu dari angkatan kita yang belum menikah. Jangan terlalu sibuk meniti karir. Bohong kalau kamu bilang tidak ingin seperti teman-teman: punya keluarga dan tempat berbagi,” ucapnya lagi, setengah menuding serta menilai.
Jalan hidup manusia berbeda-beda. Satu dan yang lain memiliki kekhasannya masing-masing. Tak ada standar baku dalam mengukur tingkat kebahagiaan seseorang. Jika aku mampu bahagia sendiri, mengapa harus ada yang menggugatnya?
“Terima kasih atas perhatiannya. Tapi maaf, aku udah mulai ngantuk,” ucapku, mencoba mengakhiri sambungan telepon dengannya setelah hampir satu jam berkutat di topik yang sama.
“Bentar, Yul. Yang tadi gimana? Paling tidak bantu setengahnya, ya. Aku pengen ngasih kado jam tangan buat ulang tahun suamiku. Bulan depan pasti aku ganti,” mohonnya dengan suara menurun.
Aku menghela napas. “Maaf, Mir. Aku benar-benar lagi nggak bisa bantu.”
“Oh, ya udah.” Dia mematikan telepon tanpa salam, terdengar kecewa.
Aku merebahkan badan ke kasur. Dalam hening, mencuat sebuah pertanyaan: “Mengapa harus membahas kehidupan pribadiku demi meminjam uang?”
Mungkin, niat awalnya bukan peduli. Hanya sebagai pengantar. Mungkin, aku hanya dijadikan cermin untuk menutupi kekurangannya. Atau mungkin, aku terlalu cepat berprasangka.