Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sebelumnya baca flash Sang Penjaga 3
Sepuluh musim hujan telah berganti sejak aku menerima jabatan sebagai Nyi Rara Penjaga Mimpi. Rambutku yang dahulu hitam pekat, kini dihiasi uban-uban perak bagai jaring laba-laba. Kedua mataku yang telah menyaksikan terlalu banyak hanya memandang dunia dengan kesunyian.
Mereka yang datang kepadaku tak lagi dari kalangan warga biasa. Para pejabat diam-diam mencari restuku untuk proyek sodetan kali. Pengusaha meminta perlindungan untuk usaha mereka yang berdiri di atas tanah larangan. Aku telah menjadi semacam Penasihat Gaib bagi kota yang semakin sesak ini.
Tapi jabatan itu bagai batu nisan yang menandai kematian terakhir sisa kemanusiaanku.
Satu pagi ketika kabut masih menyelimuti kali, seorang anak lelaki berusia tidak lebih dari delapan tahun berdiri di depan gubukku. Dia tidak gemetar seperti yang lain. Matanya yang terlalu tua untuk anak seumurnya memandangku. Sinar matanya langsung tembus ke dalam jiwaku.
"Nyi Rara," suaranya jernih, memecah kesunyian. "Aku membawa pesan dari mereka yang tertidur."
Dia mengulurkan tangannya. Di telapaknya yang mungil, terbaring Wesi Kuning, mustika yang kugunakan untuk menidurkan Nyi Rara Hijau. Batu itu kini retak, dan cahayanya telah pudar.
"Penjaga terakhir telah lemah," kata anak itu, dengan kosa kata yang bukan miliknya. "Sang Penguasa Kegelapan Air akan bangun. Dia datang untuk mengambil kembali apa yang menjadi miliknya."
Sebelum sempat kutanyakan lebih lanjut, anak itu roboh. Saat kusentuh, tubuhnya dingin bagai es. Dia telah menjadi medium terlalu kuat untuk roh yang dibawanya.
Kupandang Wesi Kuning yang retak di tanganku. Benar. Energinya hampir habis. Selama sepuluh tahun ini, aku telah menggunakan kekuatannya tanpa pernah mengisinya kembali. Aku terlalu sibuk menjadi penjaga, hingga lupa bahwa penjaga pun perlu ditopang.
Malamnya, arwah Mbah Srikandi menampakkan diri dalam wujud yang lebih jelas dari sebelumnya.
"Sudah kamu dengar peringatannya, Nyi Rara," katanya, suaranya bagai gemerisik daun kering. "Sang Penguasa bukanlah Nyi Rara Hijau atau Nyi Siti. Dia adalah Dewa Bathara Baruna yang murka. Selama ini, kami hanya menahan amarahnya. Tapi sekarang dengan semua ritual dan gangguanmu, kesabaran-Nya habis."
"Lalu apa yang harus kulakukan?" tanyaku, merasa kembali menjadi Rika yang kecil dan tak berdaya.
"Kamu harus mengadakan Upacara Panutan yang Gugur," jawabnya. "Seorang penjaga harus rela menjadi korban untuk menenangkan Sang Penguasa. Tubuh dan jiwamu harus menyatu dengan kali, menjadi bagian dari kesadaran-Nya, untuk selamanya."
Itu berarti kematian. Bukan kematian biasa, tapi peleburan total. Jiwa dan raganya akan hilang, menyatu dengan kekuatan purba Baruna.
Kupandang foto Arka dan Kinas yang masih kusimpan di kamar. Selama ini aku berjuang untuk membebaskan Arka, lalu menjadi penjaga untuk menebus kesalahanku. Sekarang, inilah puncak pengorbanan itu.
Kumulai persiapan upacara. Kali ini tidak ada mantra rumit atau bahan-bahan aneh. Hanya persiapan jiwa. Kutinggalkan pesan pada seorang murid yang kupercaya, seorang wanita muda yang memiliki bakat seperti Gilang dulu. Pesanku tentang semua yang harus dilakukannya setelah aku pergi.
Pada malam yang ditentukan, bulan purnama bersinar terang, memantul di permukaan kali yang tenang secara tidak wajar. Aku berdiri di tepi yang sama di mana Arka hilang, di mana segalanya bermula.
Aku memakai kain putih polos. Di tanganku, hanya Wesi Kuning yang retak.
"Bathara Baruna," ucapku, suaraku tenang namun menggema di kesunyian malam. "Hamba datang. Sebagai penjaga yang telah lalai. Sebagai istri yang mencintai terlalu dalam. Sebagai manusia yang mencoba melampaui takdirnya."
"Terimalah hamba sebagai penebus. Untuk Arka, yang jiwanya telah Kau bebaskan. Untuk Kinas, yang telah Kau lindungi di alam-Mu. Untuk kota ini, yang tak tahu diri terus menerus melukai-Mu."
"Jadikan hamba bagian dari-Mu. Agar mereka yang hidup belajar menghormati. Agar keseimbangan kembali."
Lalu kuletakkan Wesi Kuning yang retak di dadaku. Selanjutnya aku melangkah ke dalam kali.
Air yang dahulu dingin kini terasa hangat. Tidak ada rasa takut. Tidak ada penyesalan.
Saat air menutup kepalaku, kulihat cahaya keemasan menyelimutiku. Sebuah kehadiran yang sangat besar, sangat tua, dan sangat berkuasa menyambutku.
Bukan kemarahan. Tapi penerimaan.
Kurasakan diriku melebur. Kesadaranku menyebar ke setiap tetes air kali, ke setiap ikan, ke setiap akar yang tumbuh di tepiannya. Aku menjadi bagian dari kesadaran kolektif kali ini. Aku melihat masa lalu, masa kini, dan sekilas masa depan.
Dan yang terakhir kulihat sebelum kesadaranku sepenuhnya menyatu adalah bayangan Arka dan Kinas. Mereka berdiri di tepian, tersenyum padaku. Bukan sebagai roh yang menderita, tapi sebagai cahaya yang tenang dan damai.
Mereka lalu mengangguk, seakan mengizinkanku pergi. Melepaskanku dari ikatan terakhir sebagai istri dan ibu.
***
Di Muara Baru, orang-orang bercerita tentang Nyi Rara yang rela gugur untuk menenangkan sang dewa laut. Kali yang dahulu kerap murka kini menjadi lebih jinak. Ikan kembali berlimpah.
Anak-anak diajari untuk tidak membuang sampah ke kali. "Di sana tinggal Nyi Rara," kata orang tua mereka. "Dia mengawasi kita."
Kadang ketika kabut turun di pagi hari, ada yang bersumpah melihat siluet wanita berambut perak berdiri di tepian. Wanita itu selalu tersenyum lembut sebelum menghilang di balik embun.
Horor telah berakhir. Bukan dengan kemenangan, tapi dengan pengorbanan. Bukan dengan kekerasan, tapi dengan penerimaan.
Dan aku, Rika, akhirnya menemukan kedamaian yang selama ini kukejar-kejar. Bukan di alam baka, bukan dalam pelukan keluarga yang telah pergi, tapi dalam pelukan alam semesta sendiri. Aku telah kembali ke rumah. Aku telah menjadi legenda. Aku telah menjadi peringatan. Aku telah menjadi kali.
S E L E S A I