Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
DESTINY OF US
0
Suka
29
Dibaca

Seorang pemuda melangkah pelan di jalan setapak yang sunyi, diapit deretan batu nisan yang berdiri kaku bagai saksi bisu waktu. Di tangannya, ia menggenggam erat seikat lili putih segar yang sedikit bergetar bersama langkahnya. Begitu ia telah sampai di depan sebuah nisan bertuliskan nama “Zumi Prismaya”, langkahnya terhenti. Dengan jemari yang ragu namun penuh rindu, ia mengusap dinginnya batu itu. Perlahan ia menunduk dan meletakkan bunga di atasnya, seolah menitipkan doa yang tak pernah sempat terucap.

"Zumi, aku datang…" bisiknya pelan, seolah takut mengganggu keheningan di sekitarnya. "Maaf kalau aku jarang menemuimu. Kau tahu sendiri kan, bagaimana Ravi selalu saja cerewet mengatur jadwalku." Ia tersenyum getir, menahan sesak di dada. "Hari ini konserku akan digelar. Kumohon. Berjanjilah kau akan datang." Suaranya bergetar. Meski kelopak matanya basah, ia menolak membiarkan setitik pun air mata jatuh di depan kekasih yang begitu dirindukannya.

Di pemakaman yang senyap itu, hanya suara dedaunan jatuh dan desir angin yang terdengar. Nisan putih dengan ukiran nama Zumi tampak anggun namun dingin, dihiasi bunga-bunga yang mulai layu.

Rayn mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas kecil berbahan kulit yang sedari tadi menggantung di bahunya. Buku catatan bergambar seorang gadis dengan wajah yang setengahnya tersembunyi di balik kamera itu tak lain adalah buku harian milik Zumi. Rayn membukanya dengan pelan, hati-hati, seolah tiap lembarnya adalah hati yang rapuh.

"Zumi. Apa kau ingat? Dulu kau pernah bilang kau kecewa. Kau bilang, memiliki kekasih sepertiku sama saja dengan tak memiliki seorang kekasih, karena kita tak bisa sering bertemu. Saat itu aku berpikir apakah aku harus melepasmu untuk orang lain. Tapi mana bisa?" Di sela ucapannya yang pelan, Rayn menghela napas panjang. "Aku terlalu mencintaimu."

Sembari membuka-buka tiap halamannya, Rayn terus berbicara dengan pelan, seolah takut nisan-nisan di dekatnya ikut mencuri dengar. "Karena kamera yang selalu mengikutiku, juga aturan-aturan tak masuk akal dari manajerku, kencan kita selalu saja tertunda. Sampai akhirnya kau benar-benar kecewa padaku." Ia kembali diam, menatap nisan di hadapannya dan berharap Zumi akan muncul, mendengarkan seluruh isi hatinya yang selama ini terpaksa ia pendam di balik senyum palsu dan gemerlap panggung.

Saat Rayn benar-benar ingin menangis, tiba-tiba saja ponsel di sakunya bergetar. Nama Jiyo nampak di layar ponselnya.

"Hmm?" Ia berusaha untuk menahan suaranya agar tidak terdengar bergetar. "Baiklah, aku akan segera kesana."

Rayn memasukkan buku harian Zumi, kemudian kembali memandangi makam yang ada di hadapannya sambil tersenyum. "Aku harus pergi. Aku berjanji akan sering datang mengunjungimu."

***

Malam semakin larut, dentuman musik semakin keras mengguncang udara. Sorakan penonton tak henti-hentinya membumbung. Rayn yang akan naik untuk penampilan solonya kini mulai merasa gugup. Sesekali ia melirik buku harian Zumi yang tergeletak di sampingnya. Disambarnya buku itu begitu salah satu staf meneriakkan sisa waktu baginya untuk bersiap-siap.

"Masih ada waktu," gumamnya. Jemarinya pelan menyusuri halaman terakhir yang tadi ia tinggalkan, seolah di sana tersimpan sesuatu yang tak boleh terlewat.

Benar saja, di halaman itu Zumi menuliskan betapa nestapa nasibnya. Ia memang memiliki kekasih, namun yang bisa dilakukannya hanyalah memandangi layar TV setiap hari.

"Bahkan hanya karena aku seorang idol, aku tak bisa memegang tanganmu." Kalimat itu keluar begitu lirih.

Rayn merasa takdir mereka sungguh ironis. Hidupnya penuh sorak sorai, tapi di balik cahaya panggung, ia hanyalah manusia yang teramat kesepian. Sementara Zumi, yang seharusnya bisa menjadi rumahnya, justru terpaksa berdiri di balik bayangan, pura-pura menjadi orang asing saat dunia menatap mereka.

Rayn menarik napas dalam sebelum jemarinya menyentuh sudut halaman yang sudah mulai menguning. Dengan hati-hati, ia membalik lembar berikutnya. Kertas itu berdesir pelan, seolah menghembuskan kembali potongan kenangan yang sengaja dikubur waktu.

Setiap kata yang terbaca bagai memanggil kembali sosok Zumi, namun hanya dalam bayangan. Rayn tahu, tiap halaman yang ia buka berarti membuka luka lama, tapi sekaligus satu-satunya cara untuk merasakan kehangatan Zumi sekali lagi, meski hanya lewat tulisan yang diam.

Kini ia terdiam lama di halaman itu. Matanya berulang kali membaca baris-baris tulisan yang baru saja ia temukan.

"Andai aku bukan orang asing di sisinya. Andai aku bisa menggenggam tangan itu. Tapi nyatanya, aku hanyalah bayangan yang tak pernah bisa diakuinya."

Rayn menggigit bibirnya, dadanya sesak oleh rasa bersalah yang tak pernah ia kira sebesar ini. Ia selalu tahu Zumi terluka, tapi tidak pernah menduga lukanya sedalam ini.

Di halaman berikutnya, suasana hati Zumi seolah berubah drastis. Tidak ada ratapan, justru yang terasa adalah perasaan bahagia yang bergejolak. Rayn bahkan bisa membayangkan raut wajah Zumi saat menggoreskan penanya kala itu. Di halaman itu, Zumi menuliskan bahwa Rayn berjanji akan mengumumkan hubungan mereka berdua pada penggemarnya.

Tampak jelas dalam ingatan Rayn ketika ia berdiri di atas panggung megahnya, kemudian dengan bangga ia memperkenalkan Zumi pada dunia. Tak peduli bagaimana reaksi semua orang kala itu. Ia hanya tidak ingin terus bersembunyi.

"Rayn?" Ravi mengisyaratkan agar Rayn segera bersiap-siap untuk naik ke atas panggung. Dengan langkah berat serta perasaan yang bercampur aduk, Rayn menuju lift yang akan membawanya naik.

Sorakan penggemar dari segala penjuru menyambut Rayn, membuat udara di dalam stadion bergetar seolah bersiap untuk ikut bernyanyi bersama mereka. Lampu-lampu sorot menyilaukan panggung penuh semangat.

Namun, alih-alih mulai menyanyikan lagu solonya, Rayn justru tertawa getir. Kemudian, tiba-tiba saja semua lampu mati. Sontak semua penggemarnya menjerit ketakutan. Di tengah kepanikan yang melanda, tiga layar besar yang ada dipanggung itu tiba-tiba saja menampilkan potret seorang gadis yang tengah tersenyum, senyum ceria yang benar-benar tulus.

"Kalian masih ingat gadis ini?" suara penggemar yang mulai sibuk mencari pemilik suara itu perlahan kembali memenuhi stadion. "Dia adalah gadis yang tahun lalu kuperkenalkan pada kalian, sebagai kekasihku. Namun, di tahun yang sama pula dia meninggalkanku. Dia meninggalkanku dan tak akan pernah kembali lagi." Suaranya semakin tak terdengar, semakin lirih seperti hanya sebatas bisikan.

Sementara itu, beberapa penggemar mulai hanyut dalam isakan. Mereka menangis, mereka berduka, dan mereka sedih saat mengingat Rayn yang tahun lalu menangis di depan penggemar untuk yang pertama kalinya.

"ZUMI! AKU AKAN MENUNJUKKAN PADA DUNIA BAHWA AKU MASIH MENCINTAIMU." Teriak Rayn di tengah tangisannya. Momen yang membuat penggemarnya semakin terisak. "Lagu ini untukmu, Zumi. Aku mencintaimu." Ucapannya terdengar pelan, bagai bisikan yang nyaris hilang.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Cahaya di Bayang-Bayang Kerajaan
auroranightshade
Flash
DESTINY OF US
Bie Farida
Novel
Big Dream Princess
Sukma Maddi
Skrip Film
TO MY BEAUTIFUL TRAUMA
Mia Sekar Santi
Flash
Perkara Senyum
Dillon Gintings
Flash
Bronze
SAYAP SAYAP BERDURI
Mahfrizha Kifani
Novel
Gold
My Soulmate
Mizan Publishing
Skrip Film
KERETA
Panca Lotus
Skrip Film
Taksa
M Tioni Asprilia
Flash
Bronze
Aturan Baku
Erena Agapi
Flash
KUKEMBALIKAN SAYAP INDAHMU
Bie Farida
Skrip Film
Arah Hati
Refa Siti Muslimah
Flash
SAM DAN MESIN UANGNYA
Hans Wysiwyg
Novel
Janda Cerai Mati
Via Vandella
Skrip Film
Satu Persen
Dinda Fadhila Sari
Rekomendasi
Flash
DESTINY OF US
Bie Farida
Flash
KUKEMBALIKAN SAYAP INDAHMU
Bie Farida
Cerpen
LOVENGE
Bie Farida
Cerpen
LUKA BERNAMA ZEA
Bie Farida
Flash
THE PRECIOUS PEBBLES
Bie Farida
Cerpen
MELODEATH: COMA
Bie Farida
Flash
SOMNIA
Bie Farida