Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sebelumnya baca flash Sang Penjaga (1)
Bau anyir air kali bercampur kemenyan telah menjadi wewangian hari-hariku yang baru. Lima bulan sudah Arka pergi. Namun bagi mereka yang matinya tak wajar, pergi hanyalah ilusi. Paling tidak itu yang dikatakan Mbah Srikandi. Mereka masih berkeliaran di sela-sela dunia yang tak kasat mata, terperangkap dalam siksaan tanpa akhir.
Setiap malam, ketika kabut mulai turun di Muara Baru, suaranya sampai kepadaku. Bukan suara Arka yang gagah, melainkan rintihan yang tertahan. Seperti orang yang tenggelam dalam mimpi buruk yang tak kunjung usai.
"Rika... tolonglah dia... tolonglah!"
Suara itu bergetar di udara lembap, membuat bulu kudukku merayap naik. Aku tahu, itu bukan halusinasi. Itu panggilan dari seberang.
Maka, dengan sisa keberanian yang kupunya, kudatangi lagi gubuk reyot Mbah Srikandi di tepi kali. Rumah itu seperti kerangka besar yang menunggu mangsanya.
"Kau kembali," katanya, sebelum aku sempat mengetuk. Matanya yang putih susu seolah bisa menembus pintu kayu yang lapuk. "Dengan api kesedihan di matamu. Lebih berbahaya dari api neraka."
"Ajarilah aku, Mbah," kataku, suaraku parau oleh tangis kesedihan yang tak lagi keluar. "Aku ingin membebaskannya."
Mbah Srikandi terkekeh, suaranya seperti gerinda besi berkarat.
"Bebas? Di alam ini tak ada yang benar-benar bebas, Anakku. Hanya ada tukar guling. Kamu boleh membebaskan yang satu, tapi dengan cara mengikat yang lain."
Aku tak peduli dengan persyaratannya. Lebih-lebih Mbah Srikandi akhirnya menerima permintaanku. Aku tahu jika nasibku telah tertulis. Aku akan menjadi muridnya.
Selanjutnya aku menjalani sederet ritual yang mengerikan. Aku diminta berendam di muara pada tengah malam, di mana air asin bercampur air tawar menjadi kubangan energi-energi kotor.
Tubuhku menggigil, tapi bukan karena dingin. Ada jari-jari tak kasat mata yang merayap di kulitku, menyelusup ke pori-pori, mencemari jiwaku.
Aku belajar merasakan warna roh. Jejak Nyi Siti, si penunggu kali yang berwarna merah tua pekat, seperti darah kental. Dan Arka...
Oh, Arka... jejaknya biru pucat, tertarik dan terlilit erat oleh si merah tua itu, seperti akar yang membelit mangsa.
Pada suatu malam, ketika bulan sabit tipis menggantung seperti pedang, aku berhasil memanggil Arka. Wujudnya samar-samar, seperti bayangan di balik kaca berdebu.
"Rika, tinggalkan aku," bisiknya, suaranya bergetar penuh penderitaan. "Nyi Siti tidak sendiri, Rika. Dia melayani sesuatu yang lebih besar, lebih tua. Kamu takkan sanggup melawannya."
Tapi aku sudah terlampau jauh untuk mundur. Penglihatanku kini tak sama dengan orang-orang normal lagi. Di balik wajah-wajah orang yang lalu lalang di pasar, di sudut-sudut gelap gang, di kolong jembatan karatan, aku kini mampu melihat bayangan-bayangan lain yang mengerikan. Dunia ini penuh. Terlalu penuh.
Mbah Srikandi memberiku petunjuk terakhir. Ritual pemutusan rantai.
"Kamu butuh tanah dari kuburan bayi yang mati sebelum dimandikan," katanya, sementara tangannya yang keriput meracik bunga kamboja yang ditanam di atas makam. "Dan yang paling penting air matamu. Air mata kesedihan murni yang akan menjadi umpan sekaligus senjata."
Aku tak lagi menangis. Kesedihanku sudah membeku menjadi batu di dalam dada.
***
Pada malam yang ditentukan, aku berdiri di tepi jurang di mana Arka lenyap. Kali itu bergemuruh meski angin tak berhembus. Aku mulai mengucapkan mantra, menaburkan bahan-bahan ritual. Bau busuk tiba-tiba memenuhi udara.
Dia datang.
Nyi Siti. Bukan lagi siluet samar, tapi wujud yang nyata dan mengerikan. Kulitnya pucat kebiruan, matanya hitam legam seperti lubang. Kebaya merahnya seperti dicelup dalam darah. Dan di belakangnya, kulihat Arka yang terbungkuk dengan rantai energi merah membelit leher dan tangannya.
"Apa kamu ingin suamimu kembali ke pelukanmu lagi?" desis Nyi Siti, suaranya seperti derit kayu tua.
Aku hanya diam.
"Kamu harus jadi pengantin baruku! Kubiarkan suamimu pergi, dan kamu akan tinggal selamanya bersamaku di kedalaman yang gelap ini!"
Halusinasi menyerangku. Aku melihat Kinas, anakku tenggelam lagi di kolam. Tangan mungil Kinas menjulur ke arahku.
Aku juga melihat Arka yang hidup, tapi matanya penuh kebencian. "Ini salahmu, Rika! Kamu yang membawaku ke sini!"
Aku hampir menyerah. Lututku lemah.
Tapi kemudian dari dalam bayangan, Arka tampak mengangkat kepalanya. Matanya, yang dulu selalu penuh logika dan rasionalitas kini berisi keputusasaan yang dalam.
"Sudah cukup!" teriaknya. Dengan kekuatan terakhir yang dipungutnya dari alam baka, Arka mendorong energi Nyi Siti. Membuat siluman tua itu terhuyung.
"Jangan ikuti aku, Rika! Kamu harus tetap hidup!" Itu adalah kata-kata terakhirnya sebelum bayangannya meledak dalam cahaya putih biru, dan rantai merah yang membelitnya putus berkeping-keping.
Nyi Siti menjerit, jeritan yang membuat air kali mendidih. Dia lalu menghilang ke dalam kegelapan.
Aku terbangun di gubuk Mbah Srikandi. Ritual yang dijalaniku sepertinya berhasil.
Tapi kemenangan terasa pahit di lidah. Arka terbebas. Tapi aku telah melihat terlalu dalam ke alam lain. Jiwaku ternoda. Aku bukan Rika yang dulu lagi.
***
Sore itu aku tengah duduk di tepi kali. Seorang wanita muda mendatangiku, wajahnya pucat oleh ketakutan.
"Ibu Rika, apakah Ibu bisa menolong suami saya?" tanya wanita itu dengan gemetar.
Aku menatapnya. Di belakang bahunya, kulihat bayangan hitam melingkar. Itu adalah roh jahat yang sudah melekat pada energinya.
"Bukan menolong," jawabku dengan suara datar dan berisi beban seribu tahun. "Aku bisa berusaha. Tapi dengan satu syarat."
"Apa syaratnya, Bu?"
"Kesediaanmu untuk membayar harganya."
Dia mengangguk, tak paham betapa beratnya harga yang harus dibayar.
Aku memandang kali yang keruh. Arka telah bebas. Sementara aku telah menjadi penjaga baru gerbang dua alam.
Dunia mistis kini tak lagi datang dari luar. Dunia halus itu telah bersemayam di dalam diriku, menunggu untuk kuberikan pada mereka yang datang meminta pertolonganku.
Langit kelam, dan hari masih harus kujalani. Dengan segala bayangan yang kini menjadi teman sejatiku.
o0o
Selanjutnya baca flash Sang Penjaga 3