Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sore itu aku dan Rika duduk di warung kopi usang di Muara Baru, menatap air kali yang keruh. Kali yang membawa sampah-sampah kehidupan menuju laut. Jakarta di belakangku terasa seperti dunia lain. Di sini, di tepian kali ini, aku dan Rika berusaha melarikan diri dari bayangan kematian yang menggerogoti jiwa kami.
Kinas, anak kami telah pergi selamanya. Tragis, dia tenggelam di kolam renang tiga bulan lalu. Gaun merah yang dikenakannya tampak mengambang seperti bunga teratai yang layu. Sejak itu senyum Rika ikut tenggelam. Hilang keceriaan pada dirinya.
Bagaimana dengan aku? Seperti Rika, Lara terus membelitku. Tapi aku pandai menyembunyikannya di balik topeng rasionalitas seorang arsitek modern.
"Arka, kamu lihat sesuatu?" tiba-tiba Rika bertanya, suaranya lirih diterpa angin laut.
Aku menggeleng, meneguk kopi hitam yang sempat tumpah. Padahal sejatinya aku berbohong.
Tadi dari ujung mataku, sempat kulihat kilasan merah—obyek yang kecil dan cepat—melintas di antara tumpukan kontainer berkarat. Lenyap sebelum sempat terbaca oleh akalku yang waras. Dadaku berdebar aneh, firasat purba yang ingin kutenggelamkan.
"Tidak, Sayang. Hanya bayangan saja," kataku, memaksakan keyakinan yang mulai retak.
Tapi bayangan itu terus mengikutiku, sementara aku sepertinya tak mampu lepas darinya.
***
Rumah Mbah Srikandi seperti kuburan yang masih dihuni. Berdiri di atas tiang-tiang kayu lapuk di tepi kali, baunya tercium anyir, seperti campuran lumpur, air laut, dan sesuatu yang sudah mati. Jerit burung malam bersahutan, memperingatkan sesuatu yang tak kasat mata.
Di dalam rumah, cahaya lampu minyak menerawangi wajah keriput sang dukun. Matanya yang nyaris buta menatap kosong ke arah kami.
"Kalian membawa dia," suaranya parau, membuat bulu kudukku berdiri. Jarinya yang keriput menunjuk ruang kosong antara aku dan Rika. "Dia... si kecil. Rambutnya sudah tidak basah lagi. Dia tersenyum."
Rika langsung terisak, tangannya mencengkeram lenganku.
"Kinas? Benarkah, Mbah?"
"Diam, Rika!" seruku. Darahku mendidih. "Jangan isi kepalamu dengan omong kosong ini!"
Mbah Srikandi mendekatiku. Napasnya berbau tua dan apek.
"Anak muda, kamu sebenarnya lihat juga, tapi tak mau percaya karena ego rasionalmu."
Kemudian Mbah Srikandi membisikkan kata-kata mengerikan tentang sang penunggu kali. Konon, dia adalah perempuan tua zaman Belanda yang mati tenggelam dengan kebaya merahnya. Yang mencari teman, terutama orang-orang tak percaya dunia halus sepertiku.
"Jika kau lihat dia, jangan didekati. Jangan ditengok! Lari! Dia akan panggil namamu dengan suara anak kecil. Jangan sekali-kali kau menengok ke belakang!"
Sepertinya aku telah jengah dengan semua omong kosong yang keluar dari mulut Mbah Srikandi. Sejak mula aku memang malas menyambangi dukun tua itu. Namun Rika terus mendesakku.
Segera aku memaksa Rika untuk meninggalkan rumah ini. Saat berjalan keluar rumah, perasaan campur aduk bersemayam di tubuhku, jijik, takut, dan kesal.
***
Firasat itu tak juga pergi. Di tengah hujan deras, kulihat lagi sosok kecil berkebaya merah tua berdiri di seberang kali. Setiap kali melihatnya, rasa panik yang tak masuk akal menyergapku. Logikaku berperang dengan naluri primitifku.
Puncaknya ketika Rika harus pulang ke kampung karena ibunya sakit. Aku sendiri tinggal di apartemen. Ketegangan psikologisku memuncak. Kanal-kanal yang indah tiba-tiba berubah jadi labirin mengancam.
Sampai kemudian telepon Rika dari bandara: "Mbah Srikandi kecelakaan! Dia bilang kamu dalam bahaya besar! Mbah Srikandi berpesan, anak perempuan itulah yang harus ditakuti!"
Aku mengabaikannya, memilih menyetir ke Muara Baru di tengah hujan deras. Logikaku mengatakan ini semua hanyalah omong kosong. Namun, anehnya naluriku justru berteriak histeris.
Dan di sana, di tepi kali yang seharusnya sepi, aku melihat anak perempuan itu lagi.
Sosok kecil berkebaya merah tua, berdiri tepat di tepi tanggul kali yang ambrol. Hujan membasahi tubuhnya, tapi dia bergeming.
"Kinas...?" gumamku. Serta-merta hati ini tercabik, antara akal dan harapan.
Keluar dari mobilku, aku lekas melangkah mendekatinya. Aku melupakan semua peringatan Mbah Srikandi.
"Jangan takut, Nak! Ayah di sini!" teriakku, membungkuk untuk menjangkau.
Anak perempuan itu malah berbalik. Tapi aku sempat menyaksikan wajahnya.
Bukan wajah Kinas
Bukan wajah anak-anak.
Itu wajah nenek-nenek tua bangka, keriput bagai buah kenari, mata hitam legam kosong. Bibirnya yang mengerut meregang, membentuk senyum yang membuat darahku beku.
"Arkarrrraaaa..." suara itu keluar. Suara yang bukan berasal dari mulutnya. Lebih seperti gema dari dalam kali. Suara anak kecil bercampur suara tua penuh dengki.
Sebelum sempat menarik napas, tangannya yang berkuku panjang dan kotor mencekik leherku. Kekuatannya bukan kekuatan manusia. Aku tak berdaya.
"Temani aku..." desisnya, baunya seperti kuburan tergenang air.
Dengan tarikan tak tertahankan, aku terseret jatuh ke kali yang gelap bergolak. Kepalaku membentur pecahan beton. Pandanganku terang sebentar, sebelum kemudian meredup.
Tapi aku sempat melihat yang terakhir kalinya, sosok berkebaya merah itu. Dia berdiri di tepi kali, tersenyum, sambil memegang tangan seorang anak kecil yang sangat mirip Kinas.
Keduanya menghilang, diterpa hujan dan kabut.
Dan aku... aku tenggelam dalam kegelapan yang tak ada habisnya.
o0o
Selanjutnya baca flash Sang Penjaga 2.