Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Musim yang aku takuti akhirnya tiba. Benar. Musim pengantin. Walau tak semua bujang dan perawan desa akan berhijab kabul serentak, tapi tetap saja itu menjadi momok mengerikan untuk seorang pemalas, penunggu rumah sepertiku.
Seperti sekarang ini. Dengan menahan umpatan aku terus memarut kelapa ditanganku satu demi satu. Habis sudah jari kelingku akan berserabut tersenggol parut. Ini semua gara-gara sinoman. Atau salah rumahku yang dekat dengan tetangga hajatan? Entahlah, pikiranku kacau sedari tiga hari yang lalu. Dan lebih kacau lagi saat hari sinoman tiba.
Alasannya? Selain aku harus berkumpul dengan banyak orang. Aku harus menjadi lebih menahan kesal. Bisa jadi juga, aku harus menebalkan telinga begitu suara-suara gosipan bak anak tikus mencicit itu bersahut-sahut mengiringi gesekan kelapa dan parut.
"Habis ini Asih yang nusul kan?"
Aku Asih. Dan aku hanya mengangguk seraya tersenyum simpul menanggapi. Menjawab ala kadarnya saat Mbok, aku tidak tahu namanya, terus menanyaiku tentang 'sudah punya gandengan belum?' 'gak iri sama Arum yang udah punya buntut 2?' dan sebagainya.
Kalian tau topik apa itu. Aku tak terlalu berminat dengan yang namanya menikah. Maksudku, entahlah, aku tidak melihat hal yang bagus dari pernikahan.
Apa karena aku terlalu banyak makan curhatan orang-orang di media sosial? Drama mertua-menantu? Anak balita yang marak mendapat pelecehan? Atau kampanye child free yang sedang bergaung?
"Asih belum kepikiran mau nikah Mbok. Belum ketemu jodohe," jawaban yang aku buat anggun itu dibalas dengan nada berapi-api.
Seperti wanita itu harus nikah. Ora ilok, dosa. Kasihan bapak juga masa gak punya cucu. Yang mana aku yakin bapak sendiri tak ambil pusing tidak punya cucu.
"Hehe iya Mbok. Nanti kalau ketemu jodoh nikah kok. Asih masih 25 tahun."
Lalu dibalas lagi dengan perbandingan antara aku dan anaknya sendiri, Lela katanya, yang umur 22 tahun sudah punya 2 anak. Sedangkan aku umur 25 seharusnya sudah punya 3 anak. Tapi dalam hati aku lagi-lagi mencoba tak peduli.
Apalagi ketika sahutan-sahutan lain mulai menyerbuku dan berhasil membuat telingaku semakin berkobar lantas berdengung mengerikan. Sialan, kenapa suara simbok-simbok bisa sesemrawut ini.
"Denger Nok. Wanita itu kodratnya nikah. Gak baik kalau kamu mikir gak mau nikah gini. Kamu kerja di pabrik terus gak capek apa? Nikah aja, dapet orang sini. Deket sama bapakmu, kerjaan juga cuma di ladang aja bantu suami. Gak capek to?"
Gak capek apanya Gusti. Secara umur memang aku hampir tua, dalam aturan orang desa, tapi secara mental aku belum siap. Enak sekali Simbok berbibir merah bekas nginang ini bilang seperti itu.
Tapi aku tidak mengumpat. Justru aku tersenyum menanggapi ucapan wanita tua didepanku yang memarut kelapa dengan tangan gemetar ini. Mengucapkan beberapa kalimat patuh berharap agar dia bisa diam dan memilih untuk memfokuskan tenaganya di parutan saja.
Jujur aku juga ingin menikah. Tapi tidak segera. Lagipula diluaran sana banyak wanita yang menikah umur 30-an ke atas. Menurut data yang aku baca dari sebuah akun instagram juga membeberkan bahwa jumlah warga menikah di Indonesia menurun dalam satu dekade ini. Aku sama sekali tidak menyesal ikut andil dalam penurunan angka itu.
Itu tandanya warga mulai sadar bahwa pernikahan bukanlah hal yang main-main. Walau tak bisa dipungkiri, berbarengan dengan menurunnya angka menikah itu angka seks bebas di Indonesia juga meningkat.
Bisa dibilang angka menikah memang menurun, tapi justru pelarian itu terkumpul di jumlah angka kumpul kebo yang melonjak.
Apa itu hal bagus? Entah. Aku tidak begitu tau, aku tau itu saja dari komentar netizen yang mengatakan mungkin tidak mustahil Indonesia akan mengadaptasi budaya barat. Atau bisa juga Indonesia akan berhijrah layaknya Jepang yang penduduk usia produktifnya sedikit dan angka lansia justru lebih banyak.
Sekali lagi aku tak tau. Aku hanya buruh pabrik yang diundang sinoman di hari libur kerjaku untuk memarut kelapa secara manual masal sebanyak 10 kg-an mungkin. Sembari mendengarkan ocehan simbok-simbok yang saling beradu nasib mengenai 'siapa yang paling dikasihani'.
Apa aku boleh nimbrung? Aku ingin mengasihani diriku sendiri. Meratapi aku yang tak bisa mengelola keuanganku sendiri tiap gajian sehingga gajiku serasa daun kering yang langsung rapuh terbawa suara mamang bakso yang hadir tiap sehabis maghrib.
Sampai saat aku berjalan pulang pun. Banyak hal yang kupikirkan. Mulai dari membandingkan diriku yang tak kunjung putih, beda dengan Lia yang putih dari lahir. Atau tubuhku yang kering kerontang, beda dengan Ening yang singset dari lahir.
Sudahlah. Didepanku ada pintu rumah. Aku akan membukanya, mengucapkan salam, masuk kamar, mandi, asharan, lalu terakhir rebahan.
Begitu niatku. Sebelum mataku menangkap segerombolan bapak-bapak, termasuk bapakku, dan satu orang pria yang kuyakin masih bujang tengah menatapku dengan tersenyum.
Tampan juga.
Tidak sialan. Jangan jodoh-jodohan lagi.