Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kami adalah pemandu jiwa. Setelah mengantarkan jiwa-jiwa baru ke bumi, kami bertugas untuk mengawasi tumbuh kembang mereka. Setidaknya hingga mereka dilahirkan sebagai manusia.
Setiap hari, kami harus meluangkan waktu untuk menatap layar. Layar yang menampilkan daftar jiwa yang kami pandu.
Jiwa 101-1010 menjadi bagianku. Aku telah mengantarkan mereka minggu lalu.
Jiwa yang kami antarkan tidak semuanya terlahir menjadi manusia. Sebagian kembali ke alam kami tanpa pernah merasa dilahirkan. Jiwa itu biasa disebut jiwa yang dikucilkan. Jiwa yang tidak pernah terlahir namun kembali membawa luka duniawi.
Aku menatap layar. Jiwa 102 terlihat akan kembali lebih cepat. Kami dapat melihat dinamika yang terjadi. Jiwa 102 merasa ditolak. Bukan oleh ibunya, namun oleh lingkungannya.
Sebagai petugas pemandu jiwa, kami tidak bisa berbuat apa-apa. Hal seperti ini sudah biasa terjadi. Kontrak mereka akan diputus secara tidak langsung oleh ibunya sendiri.
Layar menampilkan tanda jiwa 102 menjadi warna merah. Aku bangkit dari duduk kemudian berjalan ke ruangan rekonsiliasi data. Aku akan menemui jiwa 102 bersama petugas rekonsiliasi data yang bertugas.
Jiwa yang belum terlahir akan kembali dengan wujud yang sama ketika diantar ke bumi. Mereka masih berbentuk gumpalan roh.
Sebagai pemandunya, aku harus mencari tahu kenapa jiwa 102 kembali lebih cepat.
“Selamat datang kembali, Jiwa 102,” sapa petugas rekonsiliasi data.
Gumpalan roh itu bergetar. Dia mengatakan, “Selamat bertemu kembali.”
“Bagaimana waktu singkat yang kau lalui di bumi?” tanyaku.
“Aku merasakan kasih sayang dari ibuku. Kasih sayang yang begitu murni. Namun aku merasakan penolakan. Bukan dari ibuku, namun dari lingkungannya.”
Kasus seperti ini mungkin terjadi jika ibu para calon jiwa baru dikucilkan oleh keluarga mereka. Bisa karena mereka masih memiliki konflik, atau tidak diterima dengan baik oleh keluarga pasangannya.
“Kontrakku tidak diputus paksa oleh ibuku. Namun aku yang memutusnya,” getarannya menyiratkan kesedihan yang mendalam.
Para ibu yang sedang mengandung sebenarnya sedang membangun koneksi yang tidak terlihat dengan janin mereka. Terkadang karena cintanya begitu besar, ia tidak ingin anaknya lahir dilingkungan yang menyedihkan dan penuh ketidakpastian. Sehingga secara tidak langsung, harapan itu memutus kontrak hidup jiwa baru.
“Mengapa kamu memutus kontraknya? Apakah kamu berubah pikiran tentang kontrak yang sudah kamu setujui?” tanyaku.
Aku harus mengetahui ini untuk mengisi laporan kepulangan jiwa baru yang belum sempat dilahirkan.
“Aku hanya ingin menemani ibuku.”
Seketika aku merasa dingin. Getaran yang kusangka kesedihan mendalam kini berubah menjadi tekad. “Apa maksudmu? Aku tidak mengerti.”
“Ibuku tidak diterima. Ibuku dikucilkan, maka aku juga ingin menemaninya. Aku ingin, kami sama-sama dikucilkan.”
Catatan Laporan: Jiwa 102 – Kepulangan Sukarela.
Aku menatap layar kosong. Untuk pertama kalinya dalam ribuan kasus, aku tidak tahu bagaimana mengklasifikasikan ini.
Apakah ini penolakan?
Atau bentuk cinta yang paling murni?