Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Gumpalan awan bergerak mengikuti langkah kaki Saka. Tas ranselnya yang berat, tak membuat langkahnya melambat. Langkah kakinya yang terasa ringan, membuatnya terus menampakkan senyum di sepanjang jalan.
“Kak?” sebuah suara menyambutnya begitu ia mendorong pintu kafe. Saka hanya tersenyum melihat gadis itu terus melambaikan tangan ke arahnya.
“Kau sudah lama?” tanya Saka seraya meletakkan tas coklatnya di kursi yang ada tepat di samping kirinya.
“Baru saja tiba. Eh, Kak. Tadi aku bertemu dengan dosen dari jurusan musik. Saat itu aku sedang menunjukkan lagu ciptaanku pada Jean, kau tahu, 'kan? Mahasiswi dari luar negeri itu. Saat kutunjukkan padanya, tiba-tiba dosen musik lewat dan menyapa kami, kemudian ... ”
Saka tersenyum melihat Shalya yang terus bercerita. Dulu gadis itu tidak secerewet sekarang. Ia bahkan hanya bicara seperlunya saat keduanya masih merupakan sepasang kekasih. Shalya bahkan jarang bertemu teman-temannya saat keduanya masih bersama. Bukan karena Saka melarangnya, tidak, Saka tidak pernah melarang Shalya melakukan apa yang ia inginkan, tapi gadis itu memang memiliki pandangan berbeda tentang hubungan sepasang kekasih.
Kesalahpahaman Shalya tentang hubungan itu membuat Saka akhirnya memantapkan diri kalau ia harus melepas Shalya. Dengan begitu, ia berharap orang yang dicintainya itu bisa bebas pergi dengan teman-temannya dan menjadi dirinya sendiri seutuhnya. Dan memang, Saka lebih suka Shalya yang cerewet.
“... jadi akhirnya dosen itu memintaku untuk merekam lagu itu di studionya,” ucap Shalya dengan bangga. “Kau tidak senang?” tanyanya begitu melihat Saka yang hanya diam.
“Hah? Tentu saja aku senang. Aku hanya heran, kau tidak haus?”
“Ah, ya. Aku belum pesan minuman.”
“Baiklah, aku yang traktir.”
Belum sempat Saka beranjak, ponsel Shalya bergetar. Gadis itu menunjukkan senyum yang belum pernah dilihat Saka sebelumnya.
“Pacarmu?”
“Pacar apa? Aku tidak punya pacar sekarang,” jawab Shalya tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya. “Jean. Dia mengundangku ke pesta ulang tahunnya. Aduh, maaf. Tapi aku harus pergi sekarang. Kau masih punya hutang mentraktirku, oke?” Shalya bergegas memasukkan novel dan ponselnya ke dalam tas. Sebuah tas serut dengan motif garis-garis serta gambar pita-pita kecil di beberapa bagiannya. “Aku pergi dulu,” ucapnya sambil bangkit dari tempat duduk dan melangkah menjauh.
“Shalya!” Tiba-tiba Saka meraih lengan gadis itu. Seketika itu juga ia terdiam. Tiba-tiba bayangan wajah dingin Shalya serta wajah ceria Shalya terus bergantian memenuhi pikirannya.
“Kak?”
Saka menggelengkan kepalanya. Lamunan itu telah hilang, dan ia sadar Shalya sepertinya tidak nyaman dengan situasi itu. “Ah, maaf. Aku lupa harus mengatakan apa tadi.”
“Hah? Apa-apaan? Ya sudahlah, aku pergi dulu.” Shalya berjalan menjauh setelah Saka melepaskan genggamannya. Dengan senyum cerianya, Shalya bahkan berbalik dan melambaikan tangan pada Saka saat hendak menyeberang.
***
Saka berjalan ke arah kampus, bukan untuk mengikuti pelajaran hari ini, hanya ingin jalan-jalan sambil merenungi nasibnya. Sebuah jembatan berbunga dekat danau buatan milik kampus terlihat menyambut Saka. Dengan langkah pelan, pemuda itu berjalan ke tengah, kemudian mengeluarkan sebuah cincin dari saku kanannya. Mungkin cincin itu senang sekarang karena Saka telah membebaskannya dari saku celana yang pengap.
“Maafkan aku!” ucapnya pada cincin itu, kemudian melemparnya tanpa ragu. Cincin itu melayang sebelum akhirnya tenggelam di tengah danau, memunculkan riak kecil yang semakin menepi.
Tepat ketika ia hendak membalikkan badannya, seseorang memeluknya dari belakang. Ia tersenyum karena tahu siapa yang tengah memeluknya. Ia pernah merasakan hangatnya pelukan itu walaupun hanya sesaat. Kecanggungan yang pernah ia rasakan dulu nampaknya masih sedikit tersisa.
“Kenapa kau ada disini?” gumamnya tanpa berbalik.
“Maafkan aku.”
“Untuk apa?” Gadis itu perlahan melepas pelukannya, kemudian Saka berbalik dan tersenyum. “Apa yang kau sesali sekarang?”
“Aku tidak bisa menjadi pacar yang baik. Aku tahu kau tidak pernah melarangku melakukan apapun yang kuinginkan, tapi aku selalu merasa aku harus selalu ada waktu untukmu. Aku tidak bisa menolak saat kau memintaku untuk menemanimu. Bahkan aku lebih memilih membatalkan janjiku dengan teman-temanku.”
“Kau salah dalam menafsirkan hubungan semacam ini.”
“Ya, kurasa begitu.” Shalya menunduk, tidak berani menatap kedua mata Saka.
“Jangan ulangi lagi!”
“Aku tidak akan pernah berkencan lagi. Aku lebih suka diriku yang seperti ini.” Shalya kini berdiri di samping Saka, memandangi air danau yang bening.
“Ya, sejujurnya aku juga lebih suka kau yang seperti ini. Tidak tahukah kau betapa frustasinya aku karena sikap dinginmu? Bahkan kau hanya bicara saat kutanya. Rupanya sekarang kau jauh berbeda,” cibir Saka.
“Inilah aku yang sebenarnya, cerewet, tidak tahu malu, ... ”
“Tidak tahu malu? Akhirnya kau menyadarinya.”
“Apa?”
Saka terkikik, kemudian kembali memandangi air danau yang tenang. “Bagaimanapun juga, kau harus jujur pada pacarmu nanti. Aku tidak mau kau tersiksa hanya karena berusaha terlihat berbeda. Kalau perlu dia harus menemuiku sebelum menyatakan perasaannya padamu. Aku kakakmu sekarang.” Saka berusaha bersikap tegas, lengkap dengan nada yang mengancam.
“Sudah kubilang aku tidak akan pernah pacaran lagi.” Shalya mulai berani menaikkan suaranya.
“Kau berani membentakku sekarang?”
Gadis itu hanya terkikik, kemudian merangkul bahu Saka dengan susah payah karena perbedaan tinggi badan mereka yang sangat mencolok. Saka meliriknya sebentar, tersenyum, kemudian kembali menatap pemandangan indah di hadapannya.
“Bukan karena aku tak cinta. Justru rasa cinta ini lah yang membuatku ingin melihat sayap indahmu kembali terbang bebas,” bisiknya dalam hati.