Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Angin dingin bulan Desember di Jakarta terasa menusuk bahkan di balik dinding kaca tebal Empire Tower, gedung pencakar langit megah milik keluarga Darmawan. Di lantai teratas, di tengah gemerlap lampu kota yang mulai menyala, Maya (25 tahun) hanya seorang desainer grafis lepas yang sedang mengantar proposal proyek. Ia terkesima oleh pemandangan dari ketinggian itu.
Saat Maya sedang menatap ke luar jendela, sebuah suara berat menyapa. "Pemandangan terbaik di kota ini, bukan?"
Maya menoleh. Di sana berdiri Arga Darmawan (32 tahun), pewaris Darmawan Group. Wajahnya sering menghiasi majalah bisnis. Arga tampak sempurna dalam balutan setelan jasnya, tetapi matanya memancarkan kesepian yang aneh.
Detik itu juga sebuah koneksi tak terhindarkan terjalin. Arga selama ini hidup dalam kotak emas yang kaku. Ia menjalani pernikahan tanpa cinta dengan Anya hanya demi kepentingan bisnis. Mereka memiliki seorang putri kecil bernama Aluna. Ketika melihat Maya, Arga langsung jatuh hati padanya yang tampak seberani dan sebebas angin.
Hubungan mereka dimulai dengan intensitas yang membakar. Pertemuan rahasia di apartemen mewah, janji-janji yang diucapkan di tengah malam, dan gairah yang berusaha menepis realitas. Maya tahu Arga terikat. Maya tergoda cinta dari pria yang mencintainya tanpa syarat, atau setidaknya begitulah kelihatannya. Ia menjadi simpanan Arga, rahasia paling manis dan paling berbahaya.
Ketika Maya memberinya kabar bahwa ia hamil anak laki-laki, Arga hampir gila karena bahagia. Ia berjanji akan menceraikan Anya. "Kau dan putra kita adalah satu-satunya kebenaran dalam hidupku, Maya," bisiknya suatu malam.
Namun, cinta itu hanyalah selubung. Di balik mata indah Maya, tersembunyi dendam yang membeku.
Beberapa bulan sebelum tanggal perkiraan Maya melahirkan, ia menghilang. Apartemen itu kosong. Ponselnya mati. Tidak ada surat, tidak ada pesan, tidak ada jejak. Ia lenyap seperti asap, membawa serta janin laki-laki Arga.
Arga Darmawan berubah menjadi bayangan dirinya. Ia menyewa detektif swasta terbaik dan mengerahkan semua sumber dayanya. Ia mencurigai semua orang.
"Kau yang menyembunyikannya, Anya! Kau tahu betapa aku mencintainya!" teriak Arga pada istrinya.
Anya hanya diam, wajahnya pucat. Ia memang membenci Maya, tetapi ia tidak berbuat apa-apa. Ia hanya menunduk, menelan rasa sakit dan penghinaan demi terus memegang kunci brankas Darmawan Group. Anya membutuhkan harta itu untuk kelangsungan hidupnya dan Aluna.
Pernikahan yang sudah mati itu pun berakhir. Arga menceraikan Anya, tanpa peduli pada konsekuensi finansial. Pencariannya pada Maya menjadi obsesi.
Pencarian itu membawanya hingga ke Istanbul, Turki. Sebuah petunjuk samar mengarah ke sebuah rumah di pinggiran kota. Arga dan timnya mendobrak pintu, tetapi rumah itu kosong, hanya menyisakan aroma parfum Maya dan kehangatan yang baru hilang.
Di saat yang sama, Maya keluar dari pintu belakang. Ia menggendong bayi laki-lakinya yang baru berusia beberapa bulan. Ia meluncur ke jalan dengan mobil sewaan yang diparkir jauh, air mata membasahi pipinya saat ia melihat Arga berdiri di depan pintu rumahnya.
"Maafkan aku," bisiknya pada bayinya. "Ini harus kulakukan."
Ia tahu cintanya pada Arga sudah tumbuh. Ia mencintai pria itu. Tetapi ia tidak bisa melupakan wajah almarhum kakaknya, Reno. Reno adalah mandor konstruksi yang tewas tertabrak buldoser saat pembangunan Empire Tower. Kecelakaan itu ditutupi. Keluarga Darmawan membayar agar kasus itu dihentikan. Tidak ada keadilan.
Sejak saat itu, Maya merencanakan segalanya. Ia ingin menjadi kehancuran Arga. Ia ingin Arga merasakan bagaimana rasanya kehilangan, bagaimana rasanya melihat cinta mati di hadapan mata.
Maya pindah ke pedalaman Anatolia, ke sebuah rumah peternakan yang jauh dari keramaian. Di sana, ia menamai putranya Elang. Ia menjalani hidup yang sederhana, menenangkan, jauh dari gemerlap Darmawan Group. Elang tumbuh menjadi anak yang lincah mewarisi mata Arga.
Tiga tahun berlalu, dan Arga akhirnya menemukan jejak Maya di peternakan itu.
Dengan jantung berdebar kencang, Arga melangkah keluar dari mobilnya. Maya berdiri di teras, memandangnya dengan tatapan dingin dan penuh luka. Elang yang berusia tiga tahun bersembunyi di balik rok ibunya, menatap asing pada pria asing yang datang.
Arga berlari ke arah Maya, mencoba memeluknya. "Maya! Aku menemukanmu! Selama ini aku mencarimu!"
Maya menepis sentuhannya. "Pergi, Arga." Suaranya datar, tanpa emosi yang ia kenal.
"Tidak, aku tidak akan pergi. Aku mencintaimu. Aku mencintai putra kita. Kenapa kau pergi?" Arga memohon, air matanya menetes.
Maya menarik napas, lalu membalas tatapan pria itu dengan tatapan yang akhirnya mengungkapkan seluruh kebenaran.
"Aku mencintaimu, Arga. Aku benar-benar mencintaimu," Maya mengakui, kata-kata itu terasa perih di lidahnya.
Arga tersenyum lega, tetapi senyum itu segera luntur saat Maya melanjutkan, "Tapi cinta ini tidak sebanding dengan nyawa Reno."
Maya menunjuk ke arahnya, matanya menyala-nyala. "Kau, keluargamu, Empire Tower itu. Semuanya didirikan di atas darah saudaraku. Kalian mencuri nyawanya dan mencuri keadilannya."
"Aku datang ke hidupmu bukan untuk cinta, Arga. Aku datang untuk rencana. Aku ingin membuatmu jatuh cinta begitu dalam, membuatmu meninggalkan semua yang kau miliki, dan kemudian… menghilang," Maya berbisik, tetapi kata-katanya terdengar seperti guntur. "Aku ingin membuatmu gila, Arga. Gila karena kehilangan."
Arga mundur selangkah. Wajahnya yang tegang menjadi pucat pasi. Ia melihat kebenaran yang kejam itu. Cinta yang begitu intens, yang begitu ia yakini, hanyalah alat balas dendam.
Ia melihat Maya, wanita yang ia cintai lebih dari segalanya, yang kini memegang kendali atas jiwanya. Ia melihat putranya, Elang. Elang merupakan satu-satunya hal yang ia miliki, yang benar-benar ia cintai.
"Kau berhasil, Maya," kata Arga, suaranya parau, hancur. "Kau menang."
Maya melihat kehancuran di mata Arga, kehancuran yang selama ini ia inginkan. Ia merasakan kemenangan, tetapi di saat yang sama ia merasakan lubang menganga di hatinya. Di tangannya, kemenangan itu terasa seperti debu.
Puncak kebenaran itu tidak memberikan kelegaan. Keadilan terbalas, tetapi cinta telah menjadi korban. Maya meraih Elang dan memeluknya erat, menolehkan pandangannya saat Arga, pewaris Darmawan Group yang sekarang kehilangan segalanya. Arga berbalik dan berjalan perlahan menjauh, meninggalkan peternakan dan cinta. Arga menuju kegilaan yang telah disiapkan Maya untuknya.