Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Waktu telah berlalu. Mungkin sudah dua jam. Terhitung sejak aku duduk menunggu kereta. Udara di stasiun ini terasa dingin dan sunyi. Seolah seluruh dunia sedang menahan napas. Aku melihat ke sebelah kanan dan kiriku. Beberapa orang sedang menunggu dalam diam.
"Kamu sudah menunggu lama, ya?" Tanyaku memecah kesunyian.
"Aku sudah menunggu delapan jam," jawab seorang perempuan yang berpakaian rapi. Kemeja putihnya tak kusut sedikit pun. Sepertinya dia akan pergi ke kantor.
"Memangnya dari tadi belum ada kereta yang sampai?"
"Sudah, hanya saja aku sedang menunggu temanku."
Aku kembali diam. Aku bertanya pada diriku, 'memangnya bisa ya menunggu selama itu?'
Aku melihat papan informasi. Angka digital itu bersinar buram di kegelapan: Kereta selanjutnya akan datang pukul 22.00. Sekitar 30 menit lagi.
Aku menatap ke depan, melampaui rel yang berkilauan ditimpa cahaya lampu stasiun. Di seberang rel ada seorang anak kecil memegang erat boneka usang. Di sampingnya, seorang petugas menggandeng tangannya. Kehadiran petugas itu tampak seperti keharusan karena anak itu masih kecil. Dia belum bisa berjalan sendiri.
Waktu di stasiun ini berjalan sangat cepat. 30 menit seperti dua kedipan mata. Kereta datang. Bukan dengan deru keras melainkan dengan keheningan yang menyeret. Lampunya redup dan gerbongnya tampak kuno. Aku dan orang-orang yang telah menunggu, berdiri. Kami bersiap memasuki gerbong yang terasa seperti portal.
Ketika aku melangkahkan kakiku memasuki gerbong, aku sempat melihat sekilas ke kaca jendela yang buram. Kaca itu menampilkan diriku yang kurus dan rapuh. Aku melihat rambutku yang sudah lama tidak dipotong kini terurai panjang.
Di gerbong ini, setiap penumpang bebas memilih tempat duduk. Seolah tatanan duniawi sudah tak berlaku. Aku duduk di samping seorang nenek tua. Seluruh rambutnya putih, seputih awan. Tubuhnya bungkuk, namun raut wajahnya memancarkan ketenangan.
Di seberang tempat dudukku, ada seorang laki-laki berjaket hijau. Di jaket lusuh itu, tercetak samar gambar ban mobil. Dia membawa sebuah bungkus putih di tangan kirinya, memegangnya seperti harta karun. Sedangkan tangan kanannya tak henti mengusap wajahnya. Kakinya bergerak-gerak tak bisa diam. Dia terlihat gelisah.
Belum sempat kulihat penumpang lain yang seolah membawa seluruh kisah hidup mereka, kereta sudah berhenti. Tidak ada pengumuman. Hanya getaran lembut yang memberitahu: kita sudah sampai tujuan.
Kami antre untuk turun. Ketika turun, aku segera mencari pintu keluar. Di setiap pintu keluar ada satu petugas yang menjaga batas antara perjalanan dan kedatangan.
Petugas di depanku tidak menanyakan tiket. Ia menatapku dalam-dalam lalu berujar dengan suara yang rendah, "Kami meminta Anda meninggalkan semua barang-barang yang Anda bawa dari bumi."
Aku memeriksa tanganku. Aku tidak membawa apa pun. Tidak ada ransel, tidak ada tas tangan. Aku datang tanpa beban. Aku dipersilahkan untuk ke tahap berikutnya. Dari kejauhan, aku melihat anak kecil dari seberang rel tadi. Dia menangis, air mata membasahi pipinya yang kotor. Dia memberontak tidak mau menyerahkan boneka usangnya.
Aku hanya bisa melihatnya dari jauh. Di tahap berikutnya, aku harus menemui Petugas Rekonsiliasi Data.
Ruang tunggu ini sangat ramai, namun setiap orang duduk dalam kesendiriannya masing-masing. Kini giliranku menghadap meja.
"Selamat datang kembali, Sinta," sapa Petugas Rekonsiliasi tanpa melihat data. Ia seolah telah menungguku sejak lama.
"Sebelum aku melakukan rekonsiliasi data," lanjutnya, matanya menatapku lurus, "Bolehkah aku bertanya?"
Aku hanya mengangguk, napasku tertahan.
"Pelajaran apa yang kamu dapat dari bumi setelah perjalanan yang begitu panjang?"
Aku tersenyum. Bukan senyum ragu, bukan senyum bangga. Mataku berkaca-kaca, namun hatiku terasa ringan. Lebih ringan dari udara.
"Di bumi, aku punya banyak hal," Suaraku kini terdengar begitu jernih, tanpa getaran atau keraguan.
"Aku punya waktu yang terasa cepat dan lambat. Aku punya rencana, aku punya harapan. Aku punya teman yang kutunggu, dan orang asing yang kutemui."
Aku menarik napas lembut. "Tapi semua itu... fana."
Mataku menatap lurus ke mata petugas rekonsiliasi. "Ketika petugas di pintu keluar meminta kami meninggalkan barang-barang yang kami bawa dari bumi, saat itulah aku benar-benar mengerti. Semua orang punya sesuatu yang harus dilepaskan."
"Aku?"
"Aku tidak membawa apa-apa, seperti yang Kamu lihat. Karena pada akhirnya, semua yang kubawa hanyalah kesadaran."
"Kesadaran bahwa semua yang kucintai, yang kuandalkan, yang kukejar, hanyalah bayangan. Yang abadi, yang tidak perlu kuserahkan di pintu keluar, yang menjadi pegangan sejati adalah Dia. Yang Maha ada dan yang memanggilku kembali ke tempat ini."
Sinta mengakhiri kalimatnya dengan tatapan penuh kepastian.
"Ternyata, aku cuma punya Tuhan."
"Pelajaranmu sangat berharga. Mari kita lanjutkan,” ucap petugas itu.