Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Jangan dikasihani….”
Temanku mendadak menginjak rem, belum selesai menasihati, dia terkejut. Mobil hitam kami mundur beberapa meter. Kami berhenti satu meter di depan kedai kopi kecil. Sedikit ragu, tapi akhirnya aku putuskan turun, mengenakan sweater, kacamata hitam, juga masker.
“Dia tidak butuh dikasihani, Roni. Nadia sedang berjuang menjalani takdir, doakan supaya dia mampu melewatinya.”
Aku mengerti nasihat Faruq, meski Faruq juga tidak mengerti kenyataan yang sebenarnya. Aku memberanikan diri, “Semoga Nadia tidak curiga.”
Aku memesan dua puluh cup kopi, sembilan belas americano, dan satu classic late. Tidak ada yang aneh dari barista cantik di depanku. Dia memang cantik dari dulu, bahkan dengan celemek, dan baju seadanya. Aku mengaguminya.
“Kakak, ini pesanan nya.” Nadia menyerahkan dua puluh cup dalam wadah khusus, agar tidak tumpah.
“Bisa transfer saja, kak?”
“Oh, iya. Tuggu sebentar.” Nadia berjalan pelan dengan tongkat, setelah aku menggelengkan kepala. Lekas menukar uang pada satu pedagang tak jauh dari kedai.
Aku sering melewati jalan ini, aku juga sering menatapnya dari kejauhan. Andai dia tahu, aku adalah orang mabuk yang menabrak sepeda motornya di malam itu hingga membuat dia kehilangan sebelah kakinya, juga suaminya.
Aku ingin menikahinya, belum lama ini aku mengajukan sebuah berkas taaruf. Kebetulan berkas kami bertemu, tapi sebelum itu aku ingin mengungkapkan kenyataan pahit ini. Agar hatiku tenang.