Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pukul 01:10.
Aku terbangun karena ada yang menggedor-gedor pintu depan. Suaranya pendek, tergesa, seperti orang yang terbiasa datang tanpa melihat waktu.
Kuintip dari jendela. Jalan sepi, halaman gelap, hanya ada bayangan pohon seri yang menunduk diterpa angin. Tak ada siapa pun. Aku menunggu beberapa detik, memastikan mataku tidak menipu, lalu kembali ke kamar.
Baru saja menarik bantal, suara itu muncul lagi. Lebih keras. Lebih dekat. Menghentak.
Aku menahan napas. Tiba-tiba berita yang sempat ramai di grup WhatsApp kampung menggema di kepalaku. Katanya, jika ada yang mengetuk rumah tengah malam, jangan pernah dibuka. Seorang warga di kecamatan sebelah mendengar pintu rumahnya diketok berkali-kali. Ia bergegas membukanya. Esok paginya, ia ditemukan tewas dengan leher tergorok.
Dulu, aku pikir cerita itu hanyalah karangan. Sekadar ingin membuat masyarakat resah, meski aku tidak bisa menerka motifnya. Kini, aku sendirian di dalam rumah, dan hal yang kusangsikan sedang menerorku. Seseorang atau sesuatu mungkin menungguku di balik pintu depan.
Semua lampu mati. Aku menggenggam ponsel, menyalakan senter. Namun, sinarnya terlalu kecil. Sia-sia, tak mampu menembus pekat.
Dari arah ruang tengah, aku mendengar ada suara tawa yang tertahan. Aku beranjak. Langkahku pelan dan berat. Setiap pijakan di lantai seolah memantulkan suara ketakutan.
Mataku menyapu seluruh sudut ruangan. Semua pintu terkunci rapat. Semua jendela masih tampak aman. Tak ada tanda penyusup masuk.
“Di sini,” ujarnya saat aku menyorot ke bawah meja.
Apakah itu maling? Setan? Ataukah mungkin keduanya? Tubuhku gemetar. Takut, tetapi penasaran.
Aku beranikan diri untuk membalas. “Siapa? Di mana?”
Tak ada jawaban. Akan tetapi, aku melihat sesuatu bergerak cepat dari dapur menuju kamarku. Gerakannya, jelas, bukan milik manusia.
Aku mundur. Pintu kamarku menutup. Barang-barang di dalamnya terdengar berjatuhan.
Tidak ada pilihan lain. Aku harus segera keluar mencari pertolongan.
Aku meraih gagang pintu. Hangat, seperti ada jejak yang belum lama ditinggalkan. Saat kucoba memutarnya, terasa ada menahan dari arah berlawanan.
“Jangan keluar!” bisiknya.
Aku terpaku. Suaranya mirip dengan suaraku.
Kulihat ponsel, bermaksud menelepon seseorang. Layarnya justru membeku, tak merespons sentuhan jariku. Angka di pojok atas berkedip, tetapi berkutat di 01:10. Tak bergeser sedikit pun.
Mustahil. Mungkin rusak. Mungkin memang ada yang salah.
Aku terus mencoba, menekan semua sisi layar. Tampilannya tak mengikuti perintahku, hanya mempertegas waktu dalam balutan cahaya redup. Permukaannya memantulkan wajahku yang tegang—dan bayangan lain di belakang, tersenyum tanpa suara. Kedua tangannya menempel di bahuku.
Aku berbalik. Ia mencengkeram leherku, dan dunia perlahan padam.
Paginya, aku membuka mata. Tubuh lelah, basah, tak bertenaga. Suara-suara dari luar mulai menyusup, ramai. Anehnya, semua jam di dalam rumah menunjukkan pukul 01:10.
Masih. Tetap. Sama.