Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku sungguh terganggu dengan kemunculannya lagi dalam hidupku. Semenjak hubungan kami berakhir tiga tahun lalu, sebuah jurang kebencian dan keengganan telah kubangun kokoh di antara kami. Sungguh, aku pun tak mengerti apa yang dia inginkan, tiba-tiba datang dan merangsek masuk, mengganggu hidupku lagi setelah kehancuran yang ia tinggalkan.
Hari itu, di penghujung bulan September yang mendung, tiba-tiba Ray berdiri di hadapanku, di tengah hiruk pikuk kampus. Kesal setengah mati, darahku mendidih melihatnya. Penampilannya terlihat lebih lusuh, seolah waktu tak lagi ramah padanya, dan wajahnya pucat pasi, seperti tertelan malam. Bicaranya tak seaktif dulu; alih-alih congkak, dia kini lebih sopan dan berhati-hati dalam bertutur kata. Keanehan ini, justru menusukku.
Ah, peduli apa aku? Aku muak melihat wajah yang mengkhianatiku tiga tahun lalu itu. Sama sekali tak menyimak ucapan lirihnya, aku memilih berbalik, meninggalkannya dalam debu. Tak kusangka, ia justru mengalihfungsikan handphone-ku menjadi medan pertempuran: pesan, panggilan, semua notifikasi yang masuk berasal dari namanya.
Pertama-tama dia menanyakan kabar, basa-basi yang menusuk. Lama-lama ia mulai meminta maaf atas kesalahannya, lalu merangkai kata-kata menjelek-jelekkan dirinya sendiri di masa lalu, merobek-robek harga dirinya. Dan yang terakhir, pesannya hanya berisi empat kata yang berhasil merobohkan sedikit pertahananku: "Shello, aku ingin bertemu. Sekali saja."
Benar-benar aku pusing dibuatnya. Sempat aku tersentuh, merasakan getaran samar penyesalannya. Namun ketika kilasan kejadian pahit itu datang, kuingat lagi, ingin ku cekik dia sekuat tenaga.
Saat itu, mataku mendapatinya tengah mencium Donita, si bunga kampus yang semerbak. Arrgh! Aku ingin berteriak, aku benci Ray, segenap jiwa dan raga, namun—oh, betapa ironisnya—aku tak pernah benar-benar bisa melupakannya. Meskipun telah dilukai hingga berdarah-darah, aku terkadang masih tersiksa oleh kerinduan yang kejam terhadapnya.
Seminggu kemudian, pertahananku, yang kubangun dengan susah payah, mulai retak dan lemah. Aku menerima tawarannya untuk mengantarku ke toko buku langgananku. Di tempat itu—saksi bisu cinta kami—kami dulu sering menghabiskan waktu, membangun impian. Mungkin karena terbawa atmosfer masa lalu yang menyesakkan, kedinginanku mencair, dan bibirku mulai bisa mengobrol dengannya.
Aneh. Semakin ku tatap, wajahnya semakin pucat, seperti salju. Kadang ia menghela nafas panjang saat tengah berbicara, helaan nafas yang berat, terlihat sangat kelelahan, seolah memikul beban tak terlihat. Meskipun begitu, aku bersikeras tak berniat menanyakan keadaannya. Aku tak ingin terlihat memberinya setitik pun perhatian.
Begitulah aku. Mudah memaafkan orang lain, sebuah kutukan, meskipun tak pernah, dan tak akan pernah, melupakan kesalahan mereka. Keesokan harinya kami sering keluar bersama, entah sekadar menyesap kopi yang pahit atau makan camilan yang manis. Kami mulai nyaman, kembali mendeklarasikan status yang rapuh: teman. Tak jarang, tatapan dan bisikan teman-teman di kampus salah mengartikan kedekatan kami.
Sampai akhirnya aku terbawa kembali oleh badai emosi di hati. Rasa bahagiaku yang singkat, hanya beberapa hari terakhir, berhasil menggerus habis-habisan rasa benciku yang lama kupelihara. Gemuruh di hatiku berteriak liar sebelum aku terlelap malam itu: aku harus berbicara serius dengannya besok. Aku ingin menanyakan, apakah ia merasakan percikan yang sama, percikan cinta yang datang lagi, membuatku tersenyum dalam kegelapan.
Pagi menyambut, dan aku mencarinya. Aku mencari Ray di kelasnya, namun bangkunya kosong. Aku sambangi semua sudut kampus yang biasa ia datangi, namun sosoknya lenyap. Begitupun keesokan harinya. Aku tak mendapati Ray di mana pun. Informasi yang diberikan teman sekelasnya tak ada yang pasti, yang jelas mereka tak tahu keberadaannya.
Lagi. Aku tersulut benci. Kali ini, kebencian itu jauh lebih panas. Aku mulai memaki, berpikiran buruk tentang maksudnya kembali mendekatiku beberapa hari terakhir. Kesal, marah, kenapa aku terperangkap lagi dalam perangkap perasaan bodoh yang seharusnya sudah terkubur. Aku berhenti mencarinya. Aku berhenti ingin tahu keberadaannya.
Seminggu kemudian, sebuah nomor tak dikenal muncul di layar handphone-ku.
"Halo Shello ya? Ini Tante, Mamanya Ray," ucapnya begitu aku menjawab panggilan.
"Ya Tante, ada apa ya?" sahutku bingung, firasat dingin menjalar.
Suara Tante Sandra bergetar, tercekat, "Bisa tolong datang jenguk Ray?"
Perlahan, langkah kakiku terasa berat, mendekati kamar yang ditunjuk oleh perawat. Ku buka pintunya pelan-pelan dan menyapukan pandangan ke dalam ruangan. Tak kuasa, aku menekap mulutku yang terbuka lebar. Benar. Ray terbaring tak sadarkan diri, pucat, dengan banyak selang dan alat bantu menempel di tubuhnya, seolah jiwanya diikat paksa.
"Ray menderita kanker otak," ujar Tante Sandra, suaranya pecah, yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakangku.
Aku tak mampu mengucap apapun, tak mampu bertanya. Aku kebingungan, badanku terasa dingin. Aku ingin menjerit dan menangis, tapi seolah aku tak punya tenaga sama sekali untuk melakukannya.
Ucapan Tante Sandra terus terngiang, bergema dalam keheningan. Malam itu, tidurku terasa janggal, sebuah siksaan. Dalam mimpiku hanya ada Ray, kenangan bersamanya seakan terputar kembali, sebuah film yang menusuk. Dari awal pertemuan, hingga perpisahan kami yang menyakitkan. Lalu aku terbangun, terperanjat, oleh dering telepon. Tante Sandra menelponku, kini ia menangis tersedu-sedu.
Kini aku membawa satu buket bunga duka di tanganku. Kakiku berjalan perlahan, menginjak rumput yang basah karena guyuran hujan ringan yang tak henti. Orang-orang lain sudah sampai, sepertinya aku yang terakhir datang. Mata Tante Sandra menatap ke arahku, tatapan penuh luka, namun aku tak membalasnya. Aku hanya menatap apa yang tengah dikerumuni orang-orang di sekitarku, dan kemudian meletakkan buket bunga yang ku bawa, dengan gemetar, di atas makam Ray. Air mataku mengalir lagi, tak tertahankan, dan aku memeluk Tante Sandra. Di tanganku kini melingkar sebuah cincin perak, yang seharusnya Ray berikan beberapa hari lalu, sebelum ia jatuh koma, sebelum ia pergi.
"Maafkan Ray, nak. Ia benar-benar menyesal pernah membuatmu membencinya," ucap Tante Sandra, di sela isak tangisnya yang memilukan. Ia mencium keningku dan memelukku lebih erat.
Aku memejamkan mataku, air mataku membasahi bahunya, melupakan semua kebencianku terhadap Ray. Itu semua terasa begitu kecil kini. "Selamat jalan, Ray. Buang semua rasa bersalahmu, simpan saja rasa cintamu. Aku memaafkanmu dan selalu menyayangimu."