Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Malam sudah lama jatuh ketika aku menyalakan lilin kecil di meja.
Suaranya lembut, hampir tak terdengar, tapi cahayanya menari di dinding.
Aneh aku tidak tahu kapan terakhir kali aku menyalakan cahaya untuk diriku sendiri.
Dulu, kau yang melakukannya.
Setiap kali listrik padam, kau akan menyalakan lilin, lalu berkata, “Tenang saja, kegelapan ini cuma sebentar.”
Aku selalu percaya, karena di wajahmu, selalu ada keyakinan yang membuat segalanya terasa aman.
Sekarang, hanya ada aku.
Dan satu cahaya kecil yang bergetar di antara tiupan angin.
Aku menatapnya lama.
Di dalam nyala itu, ada sesuatu yang menenangkan. Bukan karena terang, tapi karena ia tidak menyerah.
Api kecil itu berdiri di tengah udara yang dingin, seperti menolak padam.
Aku ingin sekuat itu tidak besar, tapi cukup untuk tetap menyala.
Di luar, hujan mengguyur lagi.
Ritmenya tidak teratur, seperti suara langkah seseorang yang ragu.
Aku membuka jendela sedikit; udara lembap masuk bersama aroma tanah.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku tidak menutupnya rapat.
Mungkin karena aku mulai percaya, tidak semua hujan datang untuk menenggelamkan.
Beberapa datang untuk membersihkan.
Aku menulis sesuatu di kertas kecil:
“Tidak apa-apa berjalan pelan, asal tidak berhenti.”
Kalimat sederhana, tapi terasa berat untuk ditulis.
Karena aku tahu aku menulisnya bukan untuk hari ini, tapi untuk hari-hari nanti, ketika gelap kembali datang dan aku mulai lupa cara berharap.
Aku menaruh kertas itu di samping lilin.
Cahayanya membuat tinta terlihat berkilau, seperti kata-kata itu sedang bernapas.
Aku sadar, hidupku mungkin tak akan kembali seperti dulu.
Tapi mungkin, itu bukan hal yang buruk.
Mungkin hidup memang bukan tentang kembali,
melainkan tentang menemukan arah baru setelah semuanya runtuh.
Di luar, langit mulai retak oleh cahaya pagi.
Aku menatapnya dari jendela yang masih terbuka.
Satu garis tipis jingga menembus awan seperti isyarat kecil dari sesuatu yang lebih besar.
Bukan kebetulan, pikirku.
Hanya waktu yang akhirnya memilih untuk lembut padaku.
Aku menutup mata sejenak.
Lilin di meja masih menyala, walau hampir habis.
Dan di balik kelopak mataku, aku merasa ada sesuatu yang hangat tumbuh perlahan.
Bukan cahaya dari luar, tapi dari dalam dari tempat yang dulu gelap, kini mulai menyala kembali.
Suar.
Kecil, tapi cukup untuk menunjukkan arah pulang.