Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sudarni, gadis berusia dua puluh tahun dengan kecantikan memukai, kini bersimpuh dengan air mata kelu di depan para mahasiswa senior yang mengemban amanah di Badan Eksekutif Mahasiswa.
"Maaf, Kak. Aku gak bermaksud jahat."
Lelaki yang dipanggil kakak itu memijat keningnya lesu, "Ini sudah kali ke berapa kamu merundung mahasiswa, Ni? Aku kan sudah bilang berkali-kali..."
"Kak..." Sudarni menyentuh tangan lelaki itu, membuatnya menghela napas dalam-dalam.
"Aku cuma iseng aja, lagi pula cuma stress biasa doang kok. Itu juga bukan karena ucapanku saja. Bisa saja dia stress karena memang dia terlalu kurus kan?"
Semua mahasiswa di ruangan itu geram, tak terkecuali si lelaki di hadapan Sudarni. Masalahnya, mulut Sudarni ini tak pernah punya kunci. Semua kata keluuar selama dia ingin mengatakannya.
"Gak usah dikasih ampun lah, Kak! Dia udah bikin tiga mahasiswa di fakultas kini keluar dari mendekam di rumah sakit jiwa karena omongan dia yang gak punya tulang itu! Jangan sampai nambah satu lagi," ujar seorang perempuan yang seangkatan dengan Sudarni.
Sudarni langsung menatap perempuan itu nanar, "Terus aku yang salah? Mereka aja yang mentalnya rapuh kan? Aku cuma menyampaikan fakta, hal-hal yang bisa saja terjadi kalau mereka tetap dengan kondisi mereka yang buruk begitu."
"Masalahnya kamu itu sering mengada-ada! Kalau gak ada, kamu jadikan ada! Kamu kayak Iblis tahu gak?!"
Mendengar itu, Sudarni makin menunduk pilu. Ia menangis kelu. Perempuan itu tak tahan dengan drama Sudarni dan memilih ke luar ruangan. Begitu pun dengan beberapa orang lainnya yang sepemikiran dengan si perempuan.
Sementara sisanya, ada yang benar-benar ingin memberikan kesempatan pada Sudarni, ada pula yang sepemikiran dengan Sudarni. Pun, juga ada yang memihak Sudarni hanya karena percaya pada segala drama di balik wajah ayunya itu.
"Ni, aku percaya setiap kita punya kesempatan untuk berubah. Kali ini, aku beri kamu kesempatan. Tapi ingat, berhenti mengusik hidup orang. Perkataanmu yang blak-blakan itu bisa jadi penentu seseorang mengambil keputusan yang berbeda terhadap hidupnya. Paham?"
Sudarni mengangguk pelan. Lelaki itu mengambil sebatang rokok dari sakunya, lalu pergi dari ruangan. Beberapa mahasiswa yang masih di ruangan itu menepuk bahu Sudarni lembut, memberi kekuatan.
"Lihat? Maaf saja cukup. Masih banyak orang yang sependapat denganku. Meski pun tidak, mereka tetap memberiku kesempatan berubah..." batin Sudarni di sembari menghapus air matanya.
Setelah peringatan itu, Sudarni pulang ke rumah. Ia kembali membuka aplikasi chat dengan mengetuk nama "Mainan ke-4" di list kontaknya.
"Heh kerempeng! Kenapa hari ini gak masuk? Udah stress akut ha?"
Kirim. Chat itu diakhiri emot tertawa. Tanda ceklis biru terpampang di sana. Tapi tak ada balasan. Sudarni kembali mengirim chat.
"Wah, gak balas nih? Lagi olahraga ya? Bagus sih kalau bener, biar nanti gak kebawa angin! Hahaha."
Lagi, hanya centang biru tanpa balasan. Akhirnya Sudarni membuat sebuah grup yang isinya dia, kontak yang ia beri nama mainan ke-4, dan beberapa kontak temannya yang sepemikiran dengan Sudarni.
Maka habislah, dalam grup itu Sudarni mencaci maki kontak bernama Mainan ke-4 itu. Mulai dari mengirim gambar meme, lalu kata-kata kasar tentang kondisi fisik si mainan ke-4, sampai pada ucapan-ucapan kasar verbal yang dikirim secara voice note.
Tiba-tiba satu chat masuk dari salah satu temannya yang juga tergabung di grup itu, "Ni, kita udah keterlaluan gak sih?"
Sudarni cepat membalas, "Gak lah. Ntar kalau nimbulin masaha, tinggal klarifikasi minta maaf. Selesai."
Temannya hanya berdecak, sembari mengirim emot kelinci memberi jempol.
Sampai pukul sepuluh, si mahasiswa yang dirundung tetap tak membalas. Akhirnya, keesokan harinya Sudarni menempel di mading tentang meme yang menunjukkan caci maki pada si mahasiswa yang ia bilang kerempeng itu.
Tepat sasaran. Poster berisi meme itu dibaca oleh si mahasiswa, dengan tawa yang menggma dari mahasiswa lain, atau ketidakpedulian yang diberikan oleh mahasiswa lainnya lagi. Sudarni terkikik diam-diam, merasa itu lucu.
Tak berselang lama, sebuah berita duka menggema di seantero kampus. Mahasiswa yang dirundung, ditemukan menggores tangannya sendiri di kamar mandi. Semua orang terkejut, termasuk Sudarni.
Kini banyak mata memandang rendah pada Sudarni, dan melewatkan sebuah proses evaluasi bahwa diri mereka sendiri mungkin pernah ikut tertawa bersamanya atau tidak peduli dengan apa yang terjadi.
Sudarni kini dihina, banyak dosen mengecamnya, padahal sebelum ini tidak ada yang bertindak lebih masif.
Sudarni membuat video klarifikasi, bahwa ia meminta maaf dan tak berniat jahat. Tapi terlambat, tidak ada lagi tepukan bahu meski kecantikannya begitu memikat. Semua sudah memandang rendah Sudarni.
Dan kini, Sudarni termangu sebab klarifikasi maafnya tak lagi mempan. Kini ia merasakan kelu menjadi korban-korbannya, dengan hadirnya Sudarni-Sudarni baru yang mencekam hidupnya.