Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ada tempat-tempat yang tetap sama, bahkan ketika orang-orang di dalamnya telah berganti.
Bangku taman yang retak di sudut kanan, jalan kecil menuju stasiun, toko roti yang masih menjual kue kesukaanmu semuanya seperti menunggu seseorang yang takkan datang lagi.
Aku melewati tempat-tempat itu pagi ini.
Tanpa niat, hanya kaki yang tiba-tiba mengarah ke sana.
Langkah-langkahku berhenti di depan toko bunga, tempat kau dulu membeli mawar putih karena katanya “bunga itu tenang, tapi tidak menyerah.”
Pemilik tokonya sudah berubah, tapi aroma tanah basahnya masih sama.
Aneh, bagaimana sesuatu bisa tetap setia meski manusia tidak.
Aku sempat ingin memotret tempat-tempat itu.
Tapi lalu berpikir, untuk apa?
Kenangan tidak butuh foto. Ia cukup berdiam di dada, menunggu waktu untuk menua bersama pemiliknya.
Ada bekas telapak sepatu di jalan setapak setelah hujan.
Aku menatapnya lama, seolah bisa membaca masa lalu dari arah langkahnya.
Jejak-jejak itu seperti mengajakku kembali ke hari ketika segalanya masih ringan sebelum kata “selamat tinggal” menjadi batas antara dua dunia.
Orang bilang waktu akan menutup semua luka.
Tapi waktu tidak menutup apa pun. Ia hanya membuat luka itu belajar hidup berdampingan dengan kita.
Setiap langkah yang kuambil hari ini adalah bukti kecilnya: aku tidak sembuh, tapi aku berjalan.
Kadang aku masih mendengar langkahmu di belakangku.
Bukan nyata, tentu saja. Hanya gema dari kenangan yang menolak padam.
Aku tidak lagi menoleh.
Aku biarkan ia mengikuti, sejauh yang ia mau.
Karena mungkin, sebagian dari diriku juga masih ingin diikuti—meski hanya oleh bayangan.
Saat matahari mulai condong ke barat, aku berhenti di tepi danau.
Permukaannya beriak pelan, memantulkan langit yang oranye.
Aku menatap pantulanku di air: seseorang yang sudah jauh berjalan dari tempat awal, tapi masih membawa arah yang sama.
Aku tersenyum kecil.
Mungkin ini arti sebenarnya dari menerima bukan melupakan, tapi memahami bahwa jejak yang tertinggal tidak harus dihapus.
Beberapa memang ada untuk diingat, sebagai bukti bahwa kita pernah berani melangkah, meski tahu kita bisa hilang di tengah jalan.
Hujan turun pelan saat aku pulang.
Jejak di tanah mulai memudar.
Tapi anehnya, aku justru merasa ringan.
Mungkin karena untuk pertama kalinya, aku sadar:
tidak semua yang hilang harus ditemukan.
Beberapa hanya perlu dibiarkan tinggal, dalam bentuk jejak yang diam-diam, masih menuntunku pulang.