Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku selalu memperhatikan wajah orang.
Bukan karena aku suka menatap, tapi karena dari sana, aku bisa tahu apa yang tidak mereka katakan.
Ada orang yang tersenyum, tapi matanya seperti sedang berlari.
Ada pula yang tertawa, tapi dagunya bergetar pelan, menahan sesuatu yang ingin tumpah.
Dan ada juga yang diam, tapi di setiap garis di pipinya, ada kisah yang belum sempat selesai.
Kau dulu sering bilang aku terlalu peka.
“Tidak semua hal harus kamu baca dari wajah orang,” katamu.
Tapi aku tidak bisa berhenti.
Karena waktu itu, aku belajar bahwa raut adalah tempat di mana manusia paling jujur dan paling rapuh.
Aku ingat raut wajahmu di hari terakhir.
Bukan marah, bukan sedih, tapi seperti seseorang yang baru saja menyerahkan sesuatu yang berharga tanpa tahu apakah akan dikembalikan.
Matamu tampak tenang, tapi aku tahu itu tenang yang dibuat-buat.
Seperti laut yang memantulkan cahaya sore indah, tapi menyembunyikan pusaran di dalamnya.
Aku tidak menahanmu waktu itu.
Bukan karena aku rela, tapi karena aku takut membaca raut wajahku sendiri di matamu.
Takut melihat bayangan seseorang yang terlalu berharap.
Sekarang, setiap kali bercermin, aku mencari raut itu.
Kadang ada, kadang hilang.
Wajahku berubah seiring waktu, tapi mataku tetap sama menyimpan seseorang yang tak lagi menatap balik.
Orang bilang waktu bisa menghapus segalanya.
Tapi tidak untuk raut.
Ia tinggal di sana, diam di bawah kulit, seperti rahasia yang menolak mati.
Hari ini aku melihat seseorang yang mirip denganmu di stasiun.
Bukan dari pakaian atau suara, tapi dari cara ia menatap jendela datar, tapi dalam.
Raut yang sama, seolah menyimpan seluruh percakapan yang tidak pernah selesai.
Aku tidak memanggil.
Aku hanya menatap, membiarkan waktu lewat di antara kami.
Ada yang aneh dari manusia, ya?
Kita lupa suara, lupa sentuhan, tapi tidak pernah benar-benar lupa raut seseorang yang pernah kita cintai.
Wajah mereka terus muncul di cermin, di mimpi, di orang asing yang tak tahu apa-apa tentang kita.
Malam ini, aku menatap pantulan wajahku di jendela.
Di luar, lampu kota berpendar lembut.
Dan untuk pertama kalinya, aku melihat raut yang berbeda lebih tenang, tapi tidak lagi kosong.
Mungkin bukan karena aku sudah melupakanmu, tapi karena aku mulai belajar menerima bahwa tidak semua wajah yang hilang perlu ditemukan kembali.