Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kafe itu selalu penuh menjelang malam. Lampu-lampu kuning menggantung rendah, menciptakan bayangan lembut di atas meja-meja kecil. Suara cangkir beradu, pintu terbuka-tutup, tawa yang datang dan pergi. Semua terasa hidup dan asing.
Aku duduk di pojok yang sama seperti dulu, tempat kita biasa bertukar cerita. Di depanku, secangkir kopi sudah kehilangan asapnya. Aku menatap permukaannya yang tenang, seolah di sana ada jawaban dari semua yang tidak sempat kita bicarakan.
Lucu, ya. Dulu aku tidak tahan berada di tempat ramai seperti ini. Kau yang memaksaku datang pertama kali, bilang bahwa suasana bising bisa menenangkan. “Keramaian itu cara dunia menyembunyikan kesedihan,” katamu sambil tertawa kecil. Aku mengiyakan, meski tidak benar-benar mengerti. Sekarang, setelah kau pergi, aku baru tahu maksudnya.
Ada dua orang di meja sebelah, sedang berdebat tentang hal sepele. Aku bisa mendengar setiap kata, tapi tak satu pun masuk ke kepalaku. Semua suaranya kabur, seperti gema dari dunia lain. Aku hanya mendengar satu suara-suaramu menggema dari dalam kepalaku, lembut, pelan, dan sangat hidup.
“Kalau suatu hari aku tidak di sini lagi,” kau pernah berkata, “datanglah ke tempat ramai. Di sana kamu bisa pura-pura lupa.”
Aku mencoba. Sungguh.
Tapi setiap kali musik mulai, setiap kali seseorang memanggil nama yang mirip denganmu, dunia mendadak membeku. Aku berhenti bernapas, menunggu kemungkinan yang tidak akan datang.
Mungkin begini rasanya kehilangan: dunia terus berjalan, tapi waktumu berhenti di satu titik yang tak bisa kamu ulangi. Aku masih di sana, di hari ketika kau tersenyum terakhir kali, di antara suara kendaraan, dan langit yang terlalu biru untuk hari perpisahan.
Seseorang menabrak kursiku, meminta maaf singkat, lalu pergi lagi. Aku mengangguk tanpa bicara. Tidak ada yang tahu aku sedang berusaha keras menahan diri agar tidak menangis di tengah keramaian.
Lucu sekali aku pernah berpikir kesepian itu hanya milik orang yang sendirian. Tapi ternyata, kesepian sejati justru hidup di tempat paling bising.
Aku melihat ke arah pintu. Setiap kali terbuka, aku menunggu wajahmu muncul di antara orang-orang asing. Tapi yang datang hanya bayangan. Mungkin aku memang terlalu lama menunggu sesuatu yang tidak akan kembali.
Kopi itu akhirnya kuminum. Rasanya pahit, tapi hangat sedikit di tenggorokan. Seperti perasaan yang tidak pernah benar-benar pergi hanya bertransformasi jadi kenangan yang lebih bisa kuterima.
Di luar, hujan mulai turun. Suaranya menenggelamkan semua percakapan di dalam kafe. Untuk sesaat, dunia menjadi lebih tenang. Aku menutup mata, membiarkan air mataku jatuh bersamaan dengan suara hujan.
Ramai sekali malam ini.
Namun hanya aku yang tahu: di tengah segala suara, aku sedang berbicara dengan seseorang yang sudah lama diam.