Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pada 17 April tahun 1933, lahir seorang pembunuh berantai bernama Joachim Kroll dari keluarga penambang di provinsi Upper Silesia, Cekoslowakia. Dia terlahir sebagai anak yang lemah fisik dan sering mengompol. Tak hanya itu, psikiater menemukan fakta bahwa anak tersebut hanya memiliki IQ 76, di bawah rata-rata.
Keluarga Kroll pindah ke Jerman setelah Perang Dunia II usai. Ibu Kroll meninggal pada tahun 1955. Peristiwa itu dan keterbelakangan akhlaknya mendasari tindak kejahatan Kroll. Pada tanggal 8 Februari 1955, korban pertamanya terkuak. Wanita malang itu bernama Irmgard Strehl (19 tahun) yang diperkosa dan ditikam hingga meninggal. Seluruh isi perut dari wanita tersebut telah dikeluarkan oleh pelaku dan jasadnya ditemukan di sebuah gudang di Lüdinghausen.
Awal tahun 1959, Kroll kembali melancarkan aksinya dengan membunuh dua orang wanita yang bernama Klara Tesmer (24 tahun) dan Manuela Knodt (16 tahun). Setelah itu dia pergi ke Duisburg dan mendapatkan pekerjaan sebagai petugas toilet, sebelum akhirnya bekerja untuk Thyssen Industries. Kisahnya tidak hanya berhenti di situ, karena setelah pindah ke Duisburg, aksinya justru kian menjadi-jadi.
Total korban yang dibunuh Kroll adalah 14 orang. Mulai dari pembunuhan Manuela Knodt, Kroll meninggalkan jejak berupa ukiran pada pantat korbannya. Anehnya, beberapa bagian tubuh korban yang dihilangkan Kroll adalah bagian yang paling berdaging dan dipotong seukuran steak. Hal itu mengindikasikan adanya kanibalisme dalam aksi Kroll.
Pemerintah setempat sempat menyatakan kotanya tengah diteror oleh pembunuh berantai. Namun sialnya, pihak kepolisian beberapa kali salah menangkap pelaku yang menyebabkan para korban salah tangkap tersebut depresi dan bunuh diri. Akhirnya, pada 3 Juli 1976 Kroll tertangkap saat sedang merebus beberapa bagian tubuh korbannya yang bernama Marion Ketter (4 tahun). Atas semua aksinya, Kroll dihukum penjara seumur hidup.
Kini, salah satu keturunan dari para pembunuh berantai bisa jadi berada di antara kita. Berdasarkan kecurigaanku, satu di antara mereka adalah Giselbert. Hari ini aku sudah merencanakan sesuatu yang akan membuatnya mengaku bahwa dia adalah keturunan dari pembunuh tersebut. Sekaligus menguji apakah dia memiliki tendensi untuk membunuh atau tidak. Aku sudah mempersiapkan dua minuman dalam dua gelas yang berbeda. Ketika dia meminumnya, sosok aslinya akan segera muncul.
"Ayok kita minum." Aku menaruh dua gelas di atas meja, satu untukku dan satu untuknya.
"Apa ini?" tanyanya singkat.
"Jus tomat." Aku berbohong. Jus tomat adalah isi dari gelasku, sedangkan isi dari gelasnya adalah darah sapi segar yang kuperoleh dari peternakan sapi di Oldenburg.
"Baiklah. Akan kucoba." Giselbert mengangkat gelasnya.
"Cheers!" Aku juga mengangkat gelasku untuk bersulang.
"Bagaimana rasanya?" tanyanya kepadaku.
"Sepertinya aku lebih suka tanpa es," sahutku dengan nada bercanda.
"Baiklah. Besok kita cari lagi yang lebih segar. Cheers!" Dia kembali mengangkat gelasnya.
Kami segera menghabiskan minuman kami. Giselbert menyeringai. Sial! Aku baru sadar bahwa gelas kami tertukar!