Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku akui, sejak kecil, selalu jadi pemenang kedua.
Sekolah ranking dua, lomba menulis juara dua, melukis pun begitu, bahkan saat memperebutkan hati seseorang, aku juga menjadi yang kedua.
Aku akhirnya menerima semua itu.
***
Hari ini, aku duduk di ruang tunggu rumah sakit, menunggu hasil operasi jantung untuk seseorang yang dulu kucintai.
Namanya Laras.
Suaminya, Dimas, tak lain adalah dokter bedah itu sendiri, teman sekolahku dulu, yang memenangkan hati perempuan yang sama.
Mungkin menurut kalian ini aneh? Waktu sudah jauh berjalan, tapi nasibku tetap masih diam di tempat. dan aku masih belum bisa berpindah ke lain hati, menunggu seseorang yang dulu aku tahu pernah menungguku.
Suster memanggilku masuk.
Kulihat Dimas berdiri di belakang meja kerjanya, wajahnya pucat, matanya kuyu dan merah.
“Operasinya berhasil,” katanya pelan menanggapi dingin kehadiranku.
Aku mengangguk. Lega. Tapi entah kenapa, aku tak bisa menyembunyikan air mataku yang jatuh juga.
“Terima kasih,” kataku, menatapnya.
Ia mengangguk singkat. Tangannya gemetar saat melepas sarung tangan bedah.
Sebelum aku sempat pergi, ia berbisik nyaris tak terdengar, “Sepertinya kali ini... kau yang menang.”
Aku tidak menjawab. Karena aku tak mengerti apa maksudnya.
***
Tiga hari kemudian, aku menerima telepon dari rumah sakit.
Suaranya tegas tapi dingin:
“Pak Arga, kami mohon Anda datang ke bagian administrasi. Ada hal yang perlu dikonfirmasi mengenai izin operasi Ibu Laras.”
Meskipun bingung dan sulit mencerna maksudnya, aku datang dengan tergesa. Di ruang administrasi, petugas menatapku dengan canggung.
“Di formulir ini, Anda tercatat sebagai pihak keluarga utama dan penanggung biaya operasi.”
Aku mengerutkan kening.
“Itu pasti kesalahan. Saya bukan keluarganya.”
Petugas itu menatapku lama. “Tanda tangan di sini... milik Anda, bukan?”
Aku menatap kertas itu.
Benar. Itu tanda tanganku. Tapi aku tak pernah menandatanganinya.
***
Aku menemui Dimas di ruang kerjanya. Ia tampak lebih tua sepuluh tahun dari pertemuan terakhir beberapa hari lalu.
“Kenapa aku tercatat sebagai keluarga Laras?” tanyaku langsung.
Ia diam lama. Lalu berkata, lirih,
“Karena aku ingin kamu tahu sesuatu.”
“Apa?”
“Laras... sudah tahu semuanya. Tentang kita dulu. Tentang aku yang mencurangimu, memalsukan surat beasiswa supaya dia tak pergi bersamamu.”
Aku terdiam. Rasanya seperti mendengar ledakan, dan tiba-tiba ingatan dari masa lalu yang lama kusimpan terburai kembali.
Dimas melanjutkan, “Sebelum operasi, dia minta satu hal. Kalau terjadi sesuatu padanya, aku harus jujur padamu. Dia bilang... hatinya sudah lama milikmu, sejak dulu. Aku cuma orang yang kebetulan menikah dengannya lebih dulu.”
Aku merasa seluruh tubuhku dingin.
“Dan kau menandatangani formulir itu...”
“...karena dia ingin kau jadi orang terakhir yang menyelamatkan hidupnya.”
Aku tak tahu harus marah, menangis, atau tertawa.
***
Malamnya, aku menatap lampu kota dari jendela rumah sakit.
Di ruang sebelah, Laras masih terbaring dengan mesin yang berdengung pelan.
Aku berdiri di pintu, tak berani masuk.
Suster berkata Laras sempat sadar beberapa detik pascaoperasi.
Katanya, ia sempat berbisik,
“Terima kasih... akhirnya aku tahu dia pemenangnya...”
Esok paginya, Laras meninggal dunia, jantungnya berhenti tiba-tiba.
Dimas tak muncul di pemakaman.
***
Seminggu kemudian aku menerima amplop tanpa nama.
Isinya hanyalah hasil laporan operasi dan selembar surat kecil, tulisan tangan yang kukenal baik milik Dimas:
“Kau selalu jadi yang kedua, Arga.
Tapi kali ini, izinkan aku kalah
agar kau bisa merasa menang, meski hanya sekali.”
Aku membaca surat itu berkali-kali sampai huruf-hurufnya kabur oleh air mata.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidup, aku benci menjadi pemenang.