Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Dia pulang dengan langkah pelan, seolah takut menabrak kesunyian yang sudah lebih dulu menunggu di rumah ini.
Ada wangi asing di udara lembut, manis, dan menyakitkan.
Wangi yang bukan milikku.
Aku menatapnya sebentar, mencoba membaca wajah yang dulu kuhafal seperti doa.
Kini, aku tak lagi mengerti bahasa di matanya.
Hanya sisa letih, dan mungkin sedikit kebohongan yang bergetar di bibirnya saat berkata, “Aku lelah.”
Di meja makan, dua piring dingin menatap kami tanpa suara.
Kami makan tanpa rasa, hanya mengunyah waktu yang sudah lama basi.
Dia menunduk, aku berpura-pura tak melihat bayangan orang lain di dalam tatapannya.
Ketika dia ke kamar, ponselnya tertinggal di meja.
Layar menyala sebentar, menulis luka di udara:
“Aku rindu kamu.”
Aku memandangi pesan itu seperti menatap hujan yang tak bisa dihentikan.
Menuang air ke gelasnya, aku gemetar. Air tumpah sedikit dan aku sadar, cinta pun bisa menetes seperti itu: pelan, tapi hilang juga akhirnya.
Malam menggulung kami dalam diam.
Dia tertidur. Aku menatap punggungnya yang dulu hangat kini hanya dinding dingin yang tak bisa kupeluk.
Aku turun ke dapur, menatap gelas yang tadi kupakai. Sisa airnya bening, tapi di dasar gelas itu ada bayangan wajahku yang tak kukenal lagi.
Aku mengambil kertas kecil, menulis satu kalimat:
“Aku mencintaimu sampai di sini.”
Kutatap rumah kami sekali lagi dindingnya, langit-langitnya, semua masih sama, hanya aku yang sudah tidak.
Kukunci pintu perlahan, takut membangunkannya.
Di luar, udara dingin. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku bisa bernapas tanpa rasa sakit.
Dan mungkin, begitulah cinta:
kadang harus dibiarkan tumpah agar kita tahu mana yang masih tersisa dan mana yang sudah seharusnya hilang.