Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pukul empat lewat lima belas menit. Selalu di angka tersebut. Ketukan di pintu dapur bergema pelan, tiga kali, lalu hilang. Tidak ada angin. Tidak ada langkah. Hanya suara teratur dan sabar, seolah tahu aku masih terjaga.
Sudah seminggu sejak Ibu dimakamkan. Rumah terasa sunyi dan sempit. Tak ada lagi pagi yang mengepul dengan aroma sereh dan salam. Namun, wangi minyak kelapa masih samar-samar mengisi udara. Kemudian, ketukan itu datang.
Semasa hidupnya, Ibu selalu menaruh gunting kecil dan parasani di bawah bantalnya. Katanya, agar tidur bisa lelap dan tak tersesat. Juga, untuk mencegah mimpi buruk ikut terbawa ke alam nyata.
Aku sempat menggugat hal itu. Aku bilang perbuatannya masuk ke ranah syirik. Ia terlalu banyak menyimpan kegelisahan sendiri. Akan tetapi, ia menyangkalnya dengan keras, “Ini namanya nyareat, Gus. Biar tidur kita nggak diganggu setan.”
Mungkin Ibu benar. Itu warisan leluhur. Hanya saja, aku tak akan pernah mengikuti caranya. Tak akan pula mendebatnya lagi.
Malam ketiga, aku masuk ke kamarnya. Aku lihat dua benda itu saling menempel di bawah bantalnya. Ada hasrat untuk menyingkirkannya, tetapi urung kulakukan. Entah mengapa, aku takut Ibu marah kepadaku.
Aku duduk di ruang tengah. Bukan berniat menunggu. Hanya belum menemukan cara untuk memejamkan mata.
Ketukan itu memanggil dari luar. Kutarik daun pintu perlahan. Tidak ada jejak yang tertangkap, kecuali piring kosong di meja bersama cangkir yang berembun. Padahal, aku ingat betul sudah membereskan dapur, dan menyimpan semua perabot ke lemari.
Aku terhenyak kala mendapati sidik jari di pinggir piring dan cangkir itu. Kurus. Kecil. Mirip dengan jari-jari Ibu.
Benarkah Ibu belum meninggalkanku sepenuhnya? Ataukah ia tidak tahu ke mana harus pulang? Entah.
Malam-malam berikutnya aku memilih menutup telinga. Aku tak peduli pada suara-suara yang datang di waktu yang berulang. Namun, di malam ketujuh aku menyerah.
Aku mulai menyiapkan secangkir teh dan sepiring nasi di meja makan, setiap malam. Jika benar itu adalah Ibu, maka ia tak perlu lagi mengetuk pintu. Tak perlu lagi khawatir kepadaku.
Aku akhirnya benar-benar menunggu. Aku berdiri di ambang pintu sambil menghitung angka yang berputar di dinding.
“Bu, kalau itu Ibu, masuk saja,” ucapku, mendahului ketukan yang akan menyapa.
Tidak ada jawaban. Tidak ada bunyi tangan yang mengadu dengan kayu.
Aku masuk ke kamar. Salat, lalu beristirahat sejenak. Merebahkan segala keganjilan dalam doa.
Aku pikir semuanya selesai. Aku ke dapur, menyiapkan sarapan untuk diriku sendiri. Kulihat cangkir di atas meja bertambah. Satu yang sengaja kusiapkan semalam, satunya lagi berisi teh yang tinggal setengah. Di atas piring, nasi berubah menjadi gunting kecil dan parasani.
Pandanganku terpaku. Mungkin Ibu memang belum pergi. Ia masih ada sini, masih memperhatikanku.
Tiba-tiba dari arah kamarku terdengar tiga kali ketukan. Tenang. Lembut. Disertai panggilan halus namaku, seperti seorang ibu yang tahu anaknya masih pura-pura tidur.
“Bu, aku baik-baik saja,” seruku.
Glosarium:
· Parasani: persani; semprani; magnet.
· Syirik: perbuatan menyekutukan Allah dengan yang lain.
· Nyareat: syareat; melaksanakan syariat; berupaya mencari sesuatu (dalam konteks ketenangan batin atau kesembuhan).