Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Oyen hari itu tampak sedang bermalasan di kolong bangku sebuah warung. Hari terlalu terik untuk mengelilingi kampung mencari sisa ikan di tempat sampah atau menggoda para betina yang anak-anaknya sudah dibuang pemiliknya ke kampung seberang.
Mata Oyen menyipit. Terlalu silau untuk membuka mata. Oyen rebahan sambil guling-guling. Kemudian ia mandi—menjilat seluruh bulu di tubuh dengan lidah berdurinya.
Tak lama langit mendung. Kemudian hujan turun tanpa peringatan begitu deras. Oyen kelimpungan mencari tempat berteduh. Ia berlari secepat yang ia bisa menuju sebuah warung dan berlindung di salah satu kolong rak.
“Yen, apa kabar?”
Mata Oyen berkilat. Itu suara si malaikat pencabut nyawa. Oyen mengeong pelan. Ia masih punya dua nyawa tersisa jadi tidak terlalu khawatir dengan kematian.
“Yen, hari ini waktumu,” ucap malaikat maut itu mengelus Oyen pelan.
Hujan masih belum reda padahal hari sudah petang. Di dalam warung, di bawah etalase sembako, seekor tikus menggigiti ikan asin. Oyen juga lapar. Oyen bergerak mengusir tikus hitam itu dan merebut ikan asinnya.
Selesai makan, Oyen merasa mengantuk. Ia tertidur di kolong etalase.
Begitu bangun, hujan telah berhenti. Si malaikat maut masih setia di sampingnya. Oyen mengeong protes, “Kalau masih lama, pulang aja dulu.”
Si malaikat maut tertawa keras.
Nyawa pertamanya dicabut tak lama setelah Oyen dilahirkan ke dunia. Oyen ditinggal induknya karena beberapa bocah bermain dengannya sehingga bau mereka menempeli tubuh kecilnya. Oyen kecil kelaparan dan menemui ajal karena tidak ada yang memberinya makan.
Yang kedua ketika Oyen diceburkan ke dalam sungai oleh anak-anak lelaki badung. Sungai itu begitu deras dan menenggelamkan Oyen dengan mudah.
Ketiga kalinya saat ia berburu tikus dan malah terjepit jebakan tikus. Oyen pendarahan hebat. Jebakan itu memotong pembuluh aortanya.
Keempat ketika Oyen menyebrang jalan tanpa lihat-lihat. Sebuah mobil menabraknya dengan kencang. Mobil itu bahkan tidak berhenti ketika mengetahui telah melindas seekor makhluk.
Kelima ketika dikejar oleh ibu-ibu karena telah mencuri bubuk ikan tongkol yang dijemur. Ibu itu murka karena Oyen mengambil bubuk terbesar sementara ia tidak punya makanan lain lagi untuk diberikan pada anak-anaknya. Si ibu kalap dan memukuli Oyen hingga sang malaikat maut datang.
Keenam, Oyen—lagi-lagi—mengejar tikus sampai ke atap rumah warga. Ketika menyebrang dari satu atap ke atap lainnya, Oyen terpeleset dan jatuh ke dalam sebuah kuali besar yang menggelegak. Seisi kampung heboh. Sebab masakan untuk selamatan anak Pak Rahman yang mau nikah itu mubajir tertimpa kucing. Satu kuali opor dibuang ke sungai. Sebagian dibawa pulang tetangga untuk kucing mereka.
Ketujuh, yang paling baru. Sekitar seminggu lalu Oyen jatuh cinta pada Vilma, si kucing peranakan yang jadi selebgram. Vilma juga rupanya ada hati dengan Oyen. Mereka sering kencan di kolong bangku rumah majikan Vilma. Atau bermesraan di garasinya. Namun, ketika cinta tengah bersemi indah, majikan Vilma membawa kucing jantan peranakan yang bertubuh bongsor dan berwarna kelabu. Vilma tertarik dengan jantan baru itu dan Oyen mesti bertarung mempertahankan betinanya. Sayang, Oyen terluka berat. Tertatih ia membawa sakit fisik dan hati hingga nyawanya melayang.
Sekarang, tampaknya adalah yang ke delapan. Si malaikat maut itu berwajah teduh. Oyen tidak pernah takut padanya kecuali ketika pertama kali Oyen merasakan nyawanya dicabut.
Oyen menggerakkan kepala. Kakinya menapaki jalanan yang setengah kering. Oyen nengok kiri-kanan kemudian menyebrang. Nahas, tubuhnya terpental menabrak sebuah tiang listrik dengan kuat. Sebuah sepeda motor yang melaju cepat menabraknya. Oyen tergeletak. Tubuhnya kejang sesaat.
“Oyen… Ini saatnya ikut aku!” ucap si malaikat maut.
Oyen menggigil ketika nyawa ditarik paksa. Ketakutan merayapinya. “Aku masih punya satu nyawa lagi,” kata Oyen berusaha melawan tarikan agar raganya tidak terpisah dengan jiwa.
“Ini yang terakhir, Yen.” Si malaikat maut tetap mencabut nyawa Oyen.
“Meong… ba-baru delapan!”
Malaikat maut tersenyum licik. “Kemarin malam, kamu makan ikan asin yang sudah diracun,” jelas malaikat maut sambil menatap Oyen. Kali ini dengan tatapan belas kasih. “Itu yang kedelapan. Nah, sekarang ini kesembilan, Oyen.” Usai berkata begitu, jasad Oyen tergeletak di jalanan.
Si pengendara motor berhenti. Kebingungan ia membungkus tubuh Oyen dengan kantong plastik kemudian membawanya ke kebun warga untuk dikebumikan.