Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Setiap pagi aku menulis surat.
Hanya satu kalimat, penek, tanpa alamat: "Apakah Kau masih di sana?" Kertasnya selalu kutaruh di jendela, menunggu cahaya pertama menyentuhnya. Tapi setiap kali matahari naik, tinta itu menghilang. Kosong. Seolah waktu menolah menjadi perantara antara aku dan apa pun yang kusebut Tuhan.
Kadang aku menulis lebih keras, menekan pena sampai menembus serat kertas. Tapi hasilnya sama. Huruf-hurus lenyap, meninggalkan bekas goresan tanpa makna. Seperti doa yang tersangkut di tenggorokan, menggantung di udara tanpa pernah jatuh.
Di luar, dunia masih berputar: suara, perang, kota yang tak henti berkedip. Di dalam, aku hanya duduk, memandangi lembar kosong itu, menunggu tanda yang tak datang.
Mungkin Tuhan sudah berpindah frekuensi. Mungkin Ia bersembunyi di antara gelombang, atau di dalam abu di dindingku, menatap balik dalam diam. Atau mungkin, Ia memang tak pernah di sana, selain di setiap kata yang hilang sebelum sempat kubaca keras-keras.
Aku menulis sekali lagi.
Kali ini tanpa pertanyaan. Tanpa nama.
Hanya garis hitam yang perlahan larut ke putih.
Dan untuk pertama kalinya, aku tidak menunggu jawaban.