Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sekarang suara itu datang dari luar.
Dari radio yang tak pernah kupadamkan, dari layar yang terus berkedip meski listrik di kepalaku sudah nyaris habis. Penyiar itu berbicara tenang—tentang angka, tentang pertempuran, tentang seseorang yang hilang di tempat yang bahkan tak kukenal. Tapi lambat laun, suaranya mulai mirip dengan detak jantungku.
“—telah terjadi bentrokan di perbatasan...”
“—harga naik lagi...”
“—semuanya terkendali.”
Kendali. Kata itu bergema seperti ejekan.
Aku menatap refleksi diriku di layar—terlambat sepersekian detik, seperti dunia sengaja menjauh sedikit agar aku tak bisa menyentuhnya. Kadang aku berpikir, mungkin aku juga sedang disiarkan, mungkin ada seseorang di tempat lain yang mendengar napasku di sela berita.
Antara suara dan diam, antara fakta dan luka, batasnya semakin kabur.
Aku tak tahu apakah yang kudengar perang di luar, atau perang di dalam.
Semuanya berdentum di frekuensi yang sama.
Suara penyiar itu akhirnya menelan suaraku sendiri.
Kalimatnya menyusup ke mulutku, mengganti kata-kataku dengan skrip yang bukan milikku.
Dan entah kenapa, aku merasa lega—seolah kehilangan kendali adalah satu-satunya cara untuk tetap tenang.
Gelombang terus berputar.
Dunia tetap berbicara.
Aku hanya sinyal yang lewat.