Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langkahku perlahan terhenti. Tatapan terpaku pada keramaian, banyak orang berpenampilan sangat cantik dengan dress yang mereka kenakan, kemeja dan jas yang nyentrik. Tawa diwajah orang-orang pun tampak sangat bahagia. Ini nampak sekali sebuah perayaan yang sangat penuh kebahagiaan. Ragu-ragu kakiku melangkah.
Satu tangan berhasil membuat tubuhku tersentak. Aku segera menoleh.
Dia, Danu. Lelaki yang seakan memberikanku sebuah gesture dan meminta seakan aku tetap melangkah masuk. "Masuk?"
Aku menarik napas panjang, lalu mengangguk perlahan. Kakiku mulai melangkah dibelakang Danu.
Beberapa orang menyambut saat Danu mulai memasuki tempat acara. Dua wanita muda yang berdiri di pintu masuk menahan Danu untuk mengisi sesuai pada buku yang sudah mereka sediakan. Ku tengok, itu buku daftar tamu. Dua wanita itu tersenyum menyambut dan menyapa ketika aku dan Danu dipersilahkan masuk.
Tapi, baru sekali langkahku maju. Seorang menarik tanganku. Langkahku terhenti dan menoleh.
"Ratna?? Iya, Ratna datang juga."Wanita yang selalu heboh namun perhatian itu ternyata masih mengenaliku. Aku menyunggingkan senyum, meski agak sedikit kaku.
"Iya, Bude. Dapet undangannya."
Tangan wanita itu beberapa kali mengusap lenganku. Tampak masih sama, masih seakan menyayangiku. "Gimana kabar ibu, bapak, sehat kan? Udah lama bude nggak denger kabare ibu sama bapak."
Aku mengangguk. "Alhamdulillah Bude, ibu sama bapak sehat. Sekarang malah lagi liburan ke Surakarta tempat abang Hendra, istirnya baru lahiran."
"Masyallah. Ada keponakan baru dong! Nanti kapan-kapan bude main deh rumah kamu. Salam buat orangtua kamu, ya. Bude mau urus tamu yang lain dulu."
Aku kembali mengangguk, menyengir seolah menetralisir kegugupan yang sebenarnya aku rasakan. "Iya bude."
Wanita yang beberapa kali kusebut Bude, akhirnya melangkah pergi. Tapi Danu, dia kembali memperhatikanku. Dia seakan tahu apa yang saat ini kupikirkan, atau mungkin dia keheranan karena aku terlalu dekat dengan wanita baru saja. Entahlah, aku harap Dani tidak perlu bertanya apapun.
Tangan kekar Danu malah terulur di sampingku, perlahan dan menarik telapak tanganku hingga bergandengan dengan jemari tangannya. Dia menoleh sekilas sambil tersenyum tipis. "Aman nggak begini?"
Aku menunduk sekilas, sambil menahan bibirku yang tertarik ingin senyum-senyum sendiri. Tetapi memang, hanya dengan Danu membuatku merasa lebih aman. "Kalau bisa jangan lepasin gue."
Danu mengangguk, kita berjalan kembali. Langkah kita berdua teratur mengikuti beberapa orang yang datang untuk menuju meja makanan. Menikmati sajian makanan yang telah dipajang dengan menu-menu sangat lezat. Mungkin saja itu dapat lebih membuatku sedikit tenang.
Semakin berlama-lama diramaian itu, pandanganku tidak berhenti beredar. Mataku merasa takut pada setiap langkahnya. Takut pada kenyataan yang sudah menjadi kenyataan yang ditelan dalam-dalam. Tidak bisa berubah. Meskipun aku ingin merusaknya sekalipun.
Tapi, saat langkahku membawa piring menuju bangku yang sudah di sediakan. Tatapanku tertuju pada dua orang yang tampak anggun dan elegan berdiri di tengah acara, membuat semua tatap mata juga tertuju pada mereka. Aku mulai terusik.
Segera aku mempercepat langkah kakiku, menunduk. Hampir saja aku melupakan kalau ada Danu yang sebenarnya berusaha aku jadikan tameng sejak berniat ke tempat ini. Itu tidak cukup.
Danu menemukan tempat aman. Aku duduk di sampingnya, jauh dan tertutup dari sesuatu yang nyaris menyentak hati. Aku segera melahap, terburu-buru.
"Kenapa masih memilih datang kalau lo sendiri nggak bisa liat dia bersanding sama orang lain, Rat?" Tanya Danu, memperhatikanku yang jelas nyaris seperti orang kehabisan gaya.
Makanan dalam mulutku berhenti aku kunyah. Rasanya mendadak kenyang. "Gimana, ya?" Aku berusaha mencari jawaban, yang mungkin tepat.
"Kalau gue, nggak akan ngelepasin orang kalau dia beneran gue cinta. Nggak akan ada meskipun, kalau harus pisah baik-baik." Danu menggigit kerupuk udang besar miliknya. "Pisah baik-baik kalau masih saling punya perasaan, kenapa? kalian nggak beda keyakinan juga, kan?"
Aku semakin terdiam. Mati kutu.
"Kalau keputusan untuk berpisah demi dia bisa melanjutkan hidup dengan orang lain. Seharusnya, kedatangan lo disini, buat tunjukin ke dia bahwa dia bukan yang terbaik untuk lo. Perpisahan kalian bukan baik-baik. Tapi, memang dia yang sudah jauh mau melepaskan lo, Ratna."
Aku menelan saliva, terpaku sejenak sambil benar-benar mencerna apa yang dikatakan oleh Danu baru saja. Aku kembali meyakinkan, kedatangan kesini bukan untuk memanjangkan sesi patah hatiku, melainkan untuk memastikan bahwa hatiku jauh lebih penting untuk bisa melangkah sangat jauh tanpa kehadiran dia kembali. Yang terbaik pasti tidak akan pernah memilih pergi dengan alasan apapun.