Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sekuntum mawar tumbuh di taman yang gersang. Merah menyala, menegakkan keindahan seperti mahkota yang tak tersentuh. Duri-durinya berkilat halus. Tajam, tetapi tak pernah ia sadari. Ia berdiri paling tinggi di antara rerumputan. Merasa dirinya gerbang cahaya, tempat sinar meniti jalan sebelum menyentuh bumi.
“Aku adalah sang penguasa. Setiap kelopakku adalah kebenaran,” katanya setiap pagi, saat embun masih menunduk di ujung daun. “Tanah memberiku tempat. Matahari memberiku cahaya. Tanpaku, tak akan ada kehangatan yang sampai pada kalian.”
Rumput-rumput di sekitarnya hanya diam. Mereka tahu keindahan mawar memang nyata. Akan tetapi, durinya merekah lebih cepat daripada kelopaknya. Setiap kali angin datang membawa nasihat, mawar berdesir angkuh.
“Jangan ajari aku tentang hidup!” hardiknya. “Aku sudah mekar sempurna.”
Ketika angin pergi, mawar diam-diam mengumpulkan daun-daun kering. Ia takut layu. Ia takut kehilangan tatapan kumbang, tepuk kagum kupu-kupu, dan mata manusia yang memujanya. Maka dari itu, ia mulai menebarkan aroma yang lain. Bukan wangi, melainkan tipu daya.
Ia berkata pada bunga-bunga di ujung bahwa matahari lebih sayang padanya, bahwa rumput-rumput iri, bahwa embun yang singgah di kelopaknya adalah tanda cinta langit. Ia mengukir cerita palsu, mengadu semua rasa semu agar yang lain terus rendah diri.
Bunga-bunga itu memilih pergi. Mawar tersenyum puas sambil membusungkan batang.
“Lihat,” ujarnya, “mereka pergi karena tak sanggup menandingi kecantikanku. Mereka menanggung malu karena tak berhasil menyingkirkanku.”
Lalu, datanglah hujan yang lama. Deras, dingin, dan jujur.
Air menembus tanah, mengurai akar yang mulai busuk. Genangan kecil menyatu, membentuk cermin yang bening.
Burung-burung tak lagi menoleh. Angin menerpa tanpa menyapa.
Mawar kesal. Ia merasa diabaikan. Ia menuduh penghuni taman berkonspirasi untuk membencinya.
Ia lantas melihat pantulan dirinya. Kelopak yang dulu bekilau, kini berwarna pucat. Aroma wangi yang memikat berubah menjadi getir yang menyengat.
Namun, bahkan dalam sepi, ia tak mau mengakui kesalahannya. Ia menatap rumput yang kembali hijau dengan sorot mendendam.
“Kalian pasti sengaja menyerap semua kesegaranku, kemudian membuat fitnah tentangku,” cercanya. “Taman ini tidak adil. Semuanya dengki padaku. Semuanya tak tahu berterima kasih.”
Ketika hujan reda, mawar menepuk-nepuk tanah. Ia mencoba membangun fondasi yang lebih kuat. Ia berikrar tak akan lagi membagi sinar pada yang lain.
Ia tetap percaya diri bahwa dirinya gerbang cahaya. Padahal, ia telah merampas tempat yang bukan miliknya.