Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Jika ada aku di kehidupan lain. Semoga ia memiliki keluarga yang bahagia.
Pesan itu melayang melintasi jaringan kosmik Divisi Doa, langsung menuju meja kerja Petugas Zeta. Zeta mencondongkan tubuh ke layar. Pesan yang dikirim oleh seorang perempuan di Planet Bumi itu menyala dengan intensitas: 78% Harapan.
Itu adalah persentase yang luar biasa kuat. Hampir mencapai ambang batas yang dianggap murni. Zeta tersenyum tipis. Doa dengan harapan setinggi ini tidak pernah melanggar aturan Pusat, tapi selalu membayangi pengirimnya seperti cahaya yang terlalu terang hingga membutakan.
"Lolos," gumamnya, menekan tombol. Pesan itu melesat ke Divisi Doa yang mengurus Semesta Kembar.
Di alam semesta yang luas, Bumi bukanlah satu-satunya tempat yang terdapat kehidupan. Banyak 'Bumi' di galaksi-galaksi lain, namun yang terdekat dan paling mirip dinamakan Esa. Penduduk di Esa memiliki wajah, nama, dan akar jiwa yang sama persis dengan penduduk di Bumi. Tetapi mereka memiliki garis takdir yang berbeda.
Perempuan yang mengirim doa, Aruna, hidup di Bumi dengan takdir yang menyedihkan. Keluarganya tidak utuh, ia bertahan sendirian. Sedangkan Aruna di Esa, sang 'Aku' yang didoakan, hidup bahagia dikelilingi keluarga yang utuh.
Setiap jiwa di Bumi dan Esa memiliki satu akar yang sama. Pusat telah lama menyadari bahwa terkadang kehidupan satu hadir di dalam mimpi pada kehidupan lain.
Bagi Aruna-Bumi, mimpi adalah satu-satunya pelabuhan. Setiap malam ia hidup sebagai Aruna-Esa. Menjalani makan malam yang hangat, memeluk orang tua yang lengkap, dan tertawa tanpa beban.
Begitu pula sebaliknya. Aruna-Esa yang tak pernah mengenal duka mulai mengalami mimpi buruk yang aneh: kesunyian yang menggigit, ruangan kosong, dan rasa sakit yang tak berdasar.
Aruna-Bumi didorong oleh 78% harapan itu perlahan mulai terobsesi.
Minggu pertama, ia terbangun dengan senyum. Minggu kedua, ia mulai menyimpan alarm dengan nada suara kakaknya—kakak yang hanya ada di Esa.
Minggu ketiga, ia lupa mematikan kompor karena masih melayang di percakapan sarapan bersama ayahnya. Di kantor, ia memanggil rekan kerjanya dengan nama adiknya. "Maaf, salah orang," katanya sambil tertawa tapi matanya kosong.
Minggu keempat, ia menelepon nomor ibunya yang telah lama tidak aktif. Nada sambung berdering dan Aruna menunggu dengan napas tertahan. Tentu saja tidak ada yang menjawab.
Tapi malam itu, di mimpinya, ibunya mengangkat telepon. "Halo, sayang?"
Aruna-Bumi terbangun dengan air mata. Bukan air mata kesedihan, melainkan kehilangan yang lebih kejam: kehilangan sesuatu yang tidak pernah benar-benar menjadi miliknya.
Di Divisi Doa, Petugas Zeta melihat data Aruna: Stabilitas Mental turun ke 35%.
Zeta menatap layar dengan gelisah. Doa Aruna tidak melanggar aturan, tapi obsesi ini berbahaya. Ia mulai berpikir untuk menarik kembali Doa 78% Harapan itu.
"Aku yang bahagia di sana," bisik Zeta pada layar, "jangan biarkan ia menjadi mimpi terindah yang membuatmu gila di sini."
Namun, di Bumi, Aruna tidak lagi memedulikan kegilaan.
Suatu sore, ia duduk di taman menatap keluarga di seberang jalan. Ada seorang ayah, ibu, dua anak yang berlarian. Mereka tertawa. Aruna tersenyum. Lalu ia menyadari: ia tidak iri. Ia tidak sedih.
Ia hanya... lelah.
Lelah berpura-pura bahwa kebahagiaan di mimpi bisa mengisi kekosongan di kenyataan. Lelah membiarkan Aruna-Esa membayar harga mimpi buruknya hanya karena ia tidak sanggup melepaskan.
Malam itu, ia duduk di kamarnya. Bukan untuk berdoa agar kebahagiaan di sana berlanjut, melainkan untuk mengirimkan pesan terakhir. Sebuah pembebasan.
Aruna menutup mata. Doa kali ini berbeda. Bukan lagi 78% harapan, melainkan 100% pengorbanan.
Untuk aku di Semesta Kembar, bisiknya dalam hati, Bahagialah. Lupakan aku.
Petugas Zeta menyaksikan data Aruna melonjak: Harapan menjadi 0%. Pengorbanan menjadi 100%.
Zeta tersenyum, kali ini dengan rasa hormat. Ia menekan tombol sekali lagi, melepaskan ikatan mimpi antara kedua Aruna.
Di Bumi, Aruna membuka mata. Malam itu, ia tidur tanpa mimpi.
Tidak ada makan malam hangat. Tidak ada pelukan ayah. Tidak ada tawa kakak. Hanya kesunyian, seperti biasa.
Tapi kali ini, kesunyian itu tidak menggigit. Ia merasakannya seperti selimut tapi miliknya sendiri. Kesepiannya tidak hilang, tapi ia kini utuh. Berdamai dengan garis takdirnya sendiri.
Di Semesta Kembar, Aruna-Esa terbangun.
Mimpi buruknya hilang sepenuhnya. Ia memeluk keluarganya seperti biasa, tidak tahu bahwa di semesta yang jauh seseorang baru saja mengorbankan segalanya demi kebahagiaannya.
Tapi saat ia memeluk ibunya pagi itu. Ada kehangatan aneh yang menyentuh dadanya, seperti seseorang yang tidak pernah ia kenal baru saja mengucapkan selamat tinggal.
Aruna-Esa tidak mengerti, tapi ia memeluk ibunya lebih erat.
"Terima kasih," bisiknya tanpa tahu kepada siapa.