 
				 
							Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pernah dengar?
Katanya, apa pun bentuk harta yang kita dapat dengan cara yang tak semestinya—sadar atau tidak—pada akhirnya akan diambil kembali oleh Tuhan. Entah bagaimana caranya, entah kapan waktunya.
Badrun seperti membenarkan nasehat itu. Apalagi ketika sebuah kesempatan besar yang seharusnya jadi miliknya, tiba-tiba lenyap begitu saja. Padahal kalkulator di kepalanya sudah menghitung: jika dikonversi ke uang, jumlahnya bisa mencapai delapan digit—angka fantastis bagi seorang “pengangguran intelek” yang baru saja keluar dari pekerjaannya. Tepatnya, keluar dengan “ikhlas” karena desakan istrinya.
***
“Kenapa harus kerja di pulau, Bang? Pulangnya entah kapan. Kalau ada yang menggoda bagaimana?” ujar istrinya, kesal. Ia tak terima suaminya harus jauh lagi. Sebelumnya pun Badrun sempat ditempatkan di luar kabupaten, meski masih bisa ditempuh dua jam perjalanan.
“Aku bisa pulang seminggu sekali. Setiap Sabtu,” jawab Badrun mencoba menenangkan.
“Kalau pas badai?”
Badrun menggaruk kepala yang tak gatal. Hal-hal seperti itu tak pernah terpikir olehnya. Tapi firasat istrinya memang kadang benar.
“Aku dengar, perempuan di pulau itu... berbahaya,” ucap istrinya pelan, seolah menimbang kata.
“Kata siapa?”
“Kata orang. Dan... firasatku.”
“Jangan berlebihan, nanti malah baper.”
“Justru itu, Bang. Sebelum terjadi, pikir baik-baik. Ini bukan cuma soal uang.”
***
Badrun belum juga memutuskan, meski kantor memberinya tenggat dua hari.
Seminggu kemudian, ia justru mendapat tugas meninjau sekaligus menyalurkan bantuan keuangan ke pulau yang sama—pulau yang sempat membuatnya ragu, tapi juga penasaran.
Ketika diminta mengirim “rekening koran”, pegawai baru yang merangkap direktur LSM lokal itu mengiyakan. Seminggu kemudian, datanglah sebuah amplop kuning. Isinya membuat Badrun nyengir: bukan catatan bank, melainkan tagihan langganan koran bulanan.
Ia langsung menelepon.
“Yang saya minta itu rekening koran bank, bukan tagihan koran bulanan!” ujarnya menahan tawa.
Mungkin karena malu, si pegawai itu kemudian mengirim ulang berkas disertai tumpukan uang di dalamnya.
“Uang apa ini?” tanya Badrun lewat telepon.
“Uang buat abang makan. Kan sudah repot bantu laporan kami.”
“Maksudmu... sogokan?” goda Badrun sambil tertawa.
“Jangan begitu, Bang. Saya ikhlas kok,” jawabnya, juga tertawa.
***
“Laporannya sudah masuk, dan fix—proyek ini langsung nyumbang ke kantong pribadinya, delapan puluh juta bersih!” ujar Bambang dengan nada jengkel.
“Maksudmu?” Badrun belum menangkap maksudnya.
Bambang membanting laporan ke meja. “Proyek ini sudah pernah dikerjakan tiga tahun lalu oleh lembaga lain, dan dia ketua timnya! Cuma diganti tanggal dan tahun. Selebihnya copy–paste. Gila!”
“Sial…” gumam Badrun.
Ternyata uang yang diterimanya kemarin “uang panas”. Dan sialnya lagi, sebagian sudah ia belanjakan untuk susu, beras, dan kue anaknya. Uang haram itu kini sudah jadi makanan, daging, dan darah.
***
“Bang, Rais demam tinggi. Harus ke dokter sekarang!” seru istrinya begitu Badrun pulang.
Ia tak menyebut bahwa anak mereka sempat kejang-kejang—kata orang tua, menyebut kata “kejang” pamali bisa mengundang penyakitnya datang lagi. Maka disimpannya kekhawatiran itu rapat-rapat.
Tanpa pikir panjang, Badrun langsung membawa anaknya ke dokter dengan motor kantor. Ia memakai sisa uang “panas” itu, ditambah uang kantor yang belum disetornya. Nanti diganti, begitu pikirnya.
Dokter bilang Rais harus opname. Obat pertama yang ditebus: dua ratus sembilan puluh tujuh ribu empat ratus rupiah.
Badrun tahu rincinya karena terbiasa dengan laporan keuangan.
Belanja harian untuk istri yang berjaga—bubur, nasi padang, jus, hingga uang parkir—mencapai seratus tujuh puluh satu ribu.
Lalu resep tambahan untuk cairan infus dan obat suntik: tiga ratus enam puluh ribu rupiah.
Total biaya perawatan selama seminggu, termasuk makan dan keperluan lain, mencapai tujuh juta lima ratus tiga puluh ribu.
Dua juta ia ambil dari sisa uang “panas”, sisanya dari uang kas kantor. Niatnya: dipinjam sementara, nanti saat gajian langsung diganti.
Namun tanggal dua tiba, dan Rais kembali kambuh. Istrinya bersikeras membawa ke dokter spesialis anak di rumah sakit premium—dokter umum semua penuh.
“Jangan pikir uangnya, Bang. Untuk anak kok coba-coba,” katanya, seperti jingle iklan minyak angin di televisi.
Badrun menurut. Tapi pikirannya terus gelisah.
***
“Jadi kamu dapat uang dari pulau itu?” tanya rekannya.
Badrun mengangguk, tanpa sadar keceplosan.
Niat awalnya menambah isi dompet, tapi kini justru terkuras dua kali lipat.
“Kata orang, uang panas itu makanan setan. Diterima banyak pun tetap akan ‘hangus’. Malah bisa-bisa uang kita ikut terbakar, apalagi kalau asalnya nggak beres.”
Kata-kata itu menampar Badrun. Ia teringat uang kas kantor yang ia pakai saat berobat, belum juga dikembalikan.
Gajinya sudah masuk, tapi niat menggantinya malah berubah—ia mencatatnya sebagai pinjaman pribadi. “Toh, tak ada yang tahu,” pikirnya. Toh, Ia bos keuangan, sekaligus pencatatnya.
Tapi hatinya tak tenang. Jangan-jangan penyakit anaknya kambuh karena ia memakai uang yang bukan haknya. Dan bisa-bisa, Tuhan menagihnya lagi.
Akhirnya, dengan dada berdebar, Badrun melangkah ke ruang bosnya.
Ia harus melapor—sebelum karma benar-benar datang, sebelum bala menimpa lagi.