Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pembukaan.
Hidup kerap terasa seperti daftar panjang yang harus diselesaikan: Pencapaian, pengakuan, kepemilikan. Kita berlari dalam sebuah siklus pertukaran yang tak kunjung usai, percaya bahwa di ujung sana ada kepenuhan yang menunggu. Tapi pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya,
“Apa yang sebenarnya kita cari? Dan mengapa, meski sudah banyak yang terkumpul, rasa ‘kurang’ itu masih saja menghantui?"
Mari kita telusuri bersama sisi luar dari pertukaran hidup, hingga akhirnya menemukan pusat yang tenang di dalam diri. Tempat di mana kita tak lagi berlari, tetapi justru menemukan makna dalam setiap langkah.
•••
Manusia, sejak mula, hidup dari tukar - menukar.
Dulu, gandum dengan garam, sekarang waktu dengan uang.
Perhatian dengan pengakuan.
Segalanya masih barter, Hanya medianya yang berganti nama,
Dan bahasanya yang diperindah. Yang dulu disebut “butuh makan” Kini disebut “mengejar impian”
Yang dulu disebut “ingin diterima” Kini disebut “personal branding”.
Tapi “inti” tetap sama. Kita saling menukar sesuatu yang tak pernah benar-benar cukup. Sebab kebutuhan manusia tak berhenti di perut. Tapi berlanjut sampai ke dada, ke tempat di mana “ingin” dan “kosong” saling bertemu tanpa pernah berdamai.
Dan disanalah dunia modern berdiri, bukan diatas kemajuan, melainkan diatas rasa “kurang” yang tak selesai kita tukar.
Lalu,jika kita sadar telah terjerat dalam siklus ini, adakah jalan keluar? Bagaimana kita menghentikan laju pertukaran yang tak memberi ruang untuk bernapas ini? Mungkin jawabannya tidak terletak pada apa yang kita tukar, tetapi pada bagaimana kita memandang segala yang kita miliki.
•••
Syukur, penjaga rasa cukup...
Rasa cukup itu rapuh. Sekali saja dibandingkan, ia bisa runtuh tanpa suara. Karena cukup bukan soal jumlah, tapi soal cara “memandang”. Dan pandangan manusia… selalu mudah tergoda oleh apa yang bersinar.
Maka Tuhan menanamkan satu kunci halus di dalam hati,
Syukur…
Ia bukan sekedar ucapan, melainkan kesadaran bahwa segala yang datang tak pernah benar-benar milikmu, melainkan titipan yang sedang singgah.
Syukur menjaga cukup dari haus yang baru. Ia menenangkan api ingin yang terus menuntut dunia menuruti rasa kurang. Ia mengubah sedikit jadi berarti. Dan kehilangan jadi pelajaran.
Dalam syukur, manusia belajar bahwa bahagia tak harus besar. Kadang cuma seteguk air setelah lelah. Dan disitu, hidup terasa ringan, bukan karena semuanya berjalan sempurna, tapi karena hatinya berhenti menuntut lebih.
Syukur bukan akhir perjalanan, ia adalah cara menjaga langkah agar tetap lembut, meski dunia terus berubah arah.
Praktik syukur secara perlahan membersihkan sebuah pencerahan.Saat rasa "cukup" itu mulai mengakar, sebuah ruang hening tercipta. Dan dalam ruang itulah, kita mulai merasakan sesuatu yang langka: sebuah keheningan yang bukan kekosongan, melainkan kedamaian. Lantas, apa yang terjadi ketika kita benar-benar berani masuk ke dalam ruang hening itu?
•••
Ada saatnya manusia berhenti menukar. Bukan karena sudah punya segalanya, tapi karena menyadari bahwa apa yang ditukar selama ini bukan barang,bukan makna, melainkan dirinya sendiri.
Ia menukar waktu dengan gengsi,
Rasa dengan angka, Jiwa dengan janji yang tak pasti.
Dan setelah lama berjalan, ia sadar:
yang habis bukan uang, melainkan tenang.
Maka ia duduk, diam. Tak lagi ingin menjadi siapa-siapa.
Tak lagi sibuk menawar hidup dengan harga yang ditentukan dunia.
Dalam diam, ia menemukan sesuatu yang tak bisa ditukar,
Rasa cukup.
Bukan cukup karena punya banyak, tapi karena tak lagi merasa kurang. Cukup karena sadar, bahwa hidup tak perlu dibeli, hanya perlu dijalani dengan sepenuhnya hadir.
Dan disanalah barter berhenti, ketika manusia belajar menerima, bahwa tak ada yang perlu ia miliki untuk menjadi dirinya sendiri.
Namun,keadaan "berhenti bertukar" ini sering disalahpahami. Bukan berarti kita lantas pasif, mengasingkan diri, atau berhenti berkarya. Justru sebaliknya. Lalu, seperti apa wujud kehidupan yang aktif dan penuh makna, namun bebas dari jerat pertukaran ini?
•••
Ada yang salah paham tentang tenang. Banyak yang mengira tenang itu diam tanpa arah, seolah jiwa yang sudah berhenti bergerak.
Padahal tenang bukan mati rasa, tenang adalah hidup yang tidak lagi tergesa.
Tenang itu berjalan tanpa dikejar, Bekerja tanpa kehilangan makna, memberi tanpa berharap kembali.
Ia bukan lawan dari semangat, tapi bentuk yang lebih dalam dari kesadaran.
Tenang adalah keberanian tenang adalah kedamaian batin yang lembut, yang tak bisa dibeli oleh apa pun.
Dalam tenang, manusia masih bekerja, masih berjuang, masih mencinta.
Hanya saja kini ia tahu, bahwa semua itu hanyalah bagian dari tarikan nafas kehidupan, bukan perlombaan menuju suatu tempat.
Ia masih bergerak, tapi tanpa takut tertinggal.
Masih bermimpi, tapi tak diperbudak oleh hasil.
Masih peduli, tapi tidak tenggelam dalam pujian.
Tenang adalah cara baru untuk hidup: bukan berhenti, tapi kembali seimbang. Bukan menolak dunia, tapi menatapnya tanpa kehilangan diri.
Dan mungkin disanalah letak kebijaksanaan, ketika manusia bisa hidup di tengah riuh, namun jiwanya tetap teduh, seperti danau yang memantulkan langit, tanpa ingin menjadi langit itu sendiri.
Dari jerat pertukaran,kita belajar bersyukur. Dari syukur, kita menemukan cukup. Dari rasa cukup, kita berani menghentikan barter. Dan ketika barter berhenti, muncullah ketenangan yang justru memberdayakan. Lalu, dimanakah semua jalur yang telah kita lalui ini bermuara?
•••
Segala perjalanan batin berakhir di titik yang sama: keseimbangan. Setelah menukar,mencari, diam, bersyukur, dan menenangkan diri, manusia akhirnya kembali menjadi tengah, tidak berlebihan dalam ingin,tidak kekurangan dalam rasa.
Karena di tengah itulah hidup sebenarnya bernafas. Bukan di puncak pencapaian,bukan pula di dasar kehilangan, melainkan di ruang tenang antara keduanya, tempat di mana manusia benar-benar menjadi manusia.