Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Ulangan fisika hari ini batal!, Bu Ariani sakit" ujar Anshar, ketua kelasku.
Semua bersorak gembira. Anak-anak sekelas tidak lagi mempedulikan apa sakitnya Bu Ariani karena yang paling penting ulangannya batal.
Apalagi aku, karena sejak dari rumah tadi aku cemas. Meski semua bab fisika semester dua itu sudah aku lahap, tapi rasanya tak ada yang bisa nyangkut di otak dengan benar.
Aku tak pernah yakin bisa menaklukkan pelajaran Bu Ariani itu.
***
Seminggu lalu........
Aku beringsut menurunkan pundakku agar tertutup punggung Anshar di bangku depan. Tapi dasar Bu Ariani memang ingin menyasar aku, tetap saja aku yang dipanggil.
"Itu yang menunduk di belakang Anshar, maju!" suaranya tegas mengultimatum.
Aku pura-pura melihat ke arah Tommy di sebelahku. "Apalagi kamu, lihat kanan kiri. Maju dan selesaikan soal di papan."
Aku maju. mengambil spidol. Bukannya menjawab malah berdiri mematung menghadap ke arah soal di white board, dengan jari menggenggam spidol tapi tak sedetik pun bergerak.
Otakku buntu. Pikiranku berkecamuk menunggu amukan Bu Ariani untuk ke sekian kalinya.
Tapi aku dibiarkannya mematung. Diperintahkan duduk juga tidak. Bu Ariani justru kembali ke bangkunya, lalu memerintahkan siswa lainnya menjawab soal yang ada di papan tulis.
Tak berselang lama, dering bel istirahat berbunyi. Aku menunggu aba-aba sebelum dipersilahkan kembali ke tempat duduk.
"Ikut Ibu!" perintahnya kemudian. Aku mengekor di belakangnya.
Aku tak berani menjajari langkahnya.
"Kesini!" perintahnya kemudian.
"Ibu tidak peduli, ulangan minggu depan jawabannya harus benar semua. Pelajari semua pertanyaan di Bab 5 dan 7, tak perlu bersembunyi seperti tadi. Kamu itu bisa!."
Aku menggaruk kepalaku. Bingung karena meski marah, aku masih di berinya clue "jawaban" soal ujian minggu depan.
"Ibu tadi sengaja di kelas?" tiba-tiba entah dari mana kekuatan bertanya itu datang.
"Iya, jika terus-terusan menghindar begitu. Ibu lapor ke ibumu." ancamnya.
"Ah, jangan bu. Saya sudah bilang ke ibu saya, kalau saya paling suka fisika. Itu itu pelajaran favorit ibu saya. Saya tidak mau mengecewakannya. Jadi please ya bu." pintaku sedikit memohon.
Bu Ariani berjalan tak menggubris meninggalkan aku yang berdiri mematung. Tapi sebelum berbelok ke ruang wali kelas, beliau berhenti, berbalik badan dan tiba-tiba tertawa. Menertawakan aku yang kebingungan.
***
Minggu berikutnya Ibu Ariani tidak masuk lagi. Anak-anak di kelas berpikir, baguslah pelajaran fisika bolong lagi.
Tapi aku merasa tidak enak, apalagi Bu Ariani sudah memberiku kisi-kisi. Aku juga sudah belajar mati-matian demi membuktikan kalau aku memang bisa fisika seperti perkataannya minggu lalu.
"Setidaknya kita cari tahu ada apa, dan mengapa Bu Ariani tidak masuk hari ini. Jangan cuek saja. Rasanya kita seperti berbahagia di atas penderitaan orang lain." usulku kepada Anshar.
"Firasatku aneh." ujarku tiba-tiba.
Anshar tertawa sinis, "Bukannya seharusnya kamu makhluk paling berbahagia, kalau pelajaran fisika bolong?"
"Tapi tidak kali ini."
Anshar tambah penasaran, "Kenapa?"
"Entahlah."
***
Tiba-tiba Maria berlari dari ruang wali kelas sambil menangis.
“Bu Ariani meninggal…” katanya tersengal, lalu menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
Aku seperti tersengat. Suara di sekitar mendadak hilang. Waktu seperti berhenti sebentar sebelum kemudian berputar cepat tak terkendali.
Aku limbung. Tidak percaya.
Semua yang terjadi terasa absurd. Baru dua minggu lalu kami berbicara. Aku masih bisa mendengar suaranya yang tegas tapi hangat, masih bisa mengingat gerak bibirnya ketika menertawakan aku yang gugup di depan papan tulis.
Aku duduk di bangku panjang koridor, menatap kosong ke arah ruang kelas. Maria masih terisak di pelukan Rani, sementara Anshar terdiam membeku.
“Katanya… Bu Ariani kena serangan jantung di rumah. Pagi tadi,” suara Rani lirih.
“Pagi tadi?” ulangku seperti tak yakin. “Padahal beliau sudah kasih kisi-kisi untukku minggu ini.”
Aku menunduk. Seketika teringat pesannya waktu itu — “Kamu itu bisa.”
Begitu sederhana, tapi hari itu kata-kata itu menancap kuat di ingatanku.
***
Aku benar-benar tak bisa mendengar apa-apa, ketika kepala sekolah berpidato perpisahan Bu Ariani.
Pikiranku hanya terhenti di papan tulis yang masih tertulis rumus-rumus fisika minggu lalu—rumus yang tak bisa aku selesaikan.
“Energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan, hanya berubah bentuk,” kata Bu Ariani waktu itu.
Sekarang kalimat itu menamparku dalam-dalam.
Mungkin begitu juga dengan manusia. Mereka tak benar-benar hilang, hanya berubah bentuk menjadi kenangan, menjadi cahaya kecil di ingatan kita yang tak padam-padam.
***
Sepulang dari makam, aku membuka buku fisika yang dulu kubenci.
Halaman Bab 5 dan 7 kubuka pelan.
Coretan tanganku masih berantakan di sana, tapi ada satu kalimat di pojok kanan bawah yang aku tulis waktu itu—hasil nasihat beliau:
“Kalau kamu takut gagal, berarti kamu belum benar-benar belajar.”
Aku tersenyum getir.
Untuk pertama kalinya, aku merasa fisika tidak lagi menakutkan. Yang kutakuti sekarang hanyalah kehilangan kesempatan untuk bilang terima kasih.