Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Self Improvement
Kisi-Kisi
4
Suka
877
Dibaca

“Ulangan fisika hari ini batal! Bu Ariani sakit,” ujar Anshar, ketua kelasku.

Semua bersorak gembira. Tak ada yang peduli sakit apa Bu Ariani — yang penting ulangannya batal.

Aku pun lega, meski sejak dari rumah tadi sudah cemas. Semua bab fisika semester dua sudah kubaca, tapi rasanya tak ada yang benar-benar menempel di kepala. Aku memang tak pernah yakin bisa menaklukkan pelajaran Bu Ariani.

***

Seminggu lalu...

Aku menunduk, berusaha bersembunyi di balik punggung Anshar. Tapi Bu Ariani tetap saja tahu.

“Itu yang menunduk di belakang Anshar, maju!” suaranya tegas, tak bisa ditawar.

Aku pura-pura menoleh ke arah Tommy, tapi tak ada gunanya.

“Kamu juga, jangan pura-pura. Maju dan selesaikan soal di papan.”

Aku melangkah ke depan, menggenggam spidol tapi diam mematung di hadapan papan tulis. Otakku kosong. Aku hanya menunggu ledakan amarah Bu Ariani seperti biasa.

Tapi kali ini tidak. Ia tak menyuruhku duduk, tak memarahiku. Hanya kembali ke bangkunya dan mempersilakan siswa lain menjawab soal.

Bel istirahat berbunyi. Aku masih berdiri di depan, menunggu perintah.

“Ikut Ibu,” katanya kemudian.

Aku mengekor di belakangnya, menunduk.

“Dengar,” ujarnya pelan tapi tegas. “Ulangan minggu depan jawabannya harus benar semua. Pelajari Bab 5 dan 7. Tak perlu bersembunyi seperti tadi. Kamu itu bisa.”

Aku menggaruk kepala, bingung. Meski ditegur, aku merasa justru diberi petunjuk.

“Bu sengaja tadi?” tanyaku ragu.

“Iya. Kalau kamu terus menghindar begitu, Ibu lapor ke ibumu,” katanya setengah mengancam.

“Jangan, Bu. Saya sudah bilang ke Ibu di rumah kalau saya suka fisika. Itu pelajaran favorit beliau. Saya tak mau mengecewakannya. Jadi... please ya, Bu.”

Bu Ariani berjalan tanpa menjawab. Tapi sebelum berbelok ke ruang wali kelas, beliau sempat berhenti, menoleh, lalu tertawa kecil — menertawakan aku yang kebingungan.

***

Minggu berikutnya, Bu Ariani tak masuk lagi. Teman-teman bersorak, merasa beruntung jam fisika kosong. Tapi aku justru gelisah. Ia sudah memberiku kisi-kisi, aku sudah belajar sungguh-sungguh.

“Setidaknya kita cari tahu kenapa Bu Ariani nggak masuk,” usulku pada Anshar. “Jangan cuma senang karena pelajarannya batal. Rasanya nggak enak.”

Anshar mencibir, “Bukannya kamu yang paling bahagia kalau fisika bolong?”

“Tapi nggak kali ini,” jawabku pelan.

“Kenapa?”

Entahlah. Firasatku aneh.”

Tiba-tiba Maria berlari dari ruang wali kelas sambil menangis.

“Bu Ariani... meninggal,” katanya tersengal, menutupi wajah dengan kedua tangan.

Aku seperti tersengat. Dunia di sekitarku mendadak senyap. Waktu berhenti sebentar, lalu berputar cepat.

Aku limbung. Tak percaya.

Baru dua minggu lalu kami bicara. Aku masih ingat suaranya, tatapannya, tawanya.

Aku duduk di bangku koridor, menatap kosong ke arah kelas. Maria masih menangis di pelukan Rani, sementara Anshar terdiam membeku.

“Katanya... Bu Ariani kena serangan jantung. Pagi tadi,” ujar Rani lirih.

“Pagi tadi?” ulangku pelan. “Padahal beliau baru kasih kisi-kisi buatku minggu ini.”

Aku menunduk. Suaranya terngiang di kepala — “Kamu itu bisa.”

Sederhana, tapi kata itu kini terasa berat, menancap dalam di hati.

***

Saat kepala sekolah memberi pidato perpisahan, aku nyaris tak mendengar apa-apa.

Yang kulihat hanya papan tulis minggu lalu, masih penuh rumus fisika yang belum sempat kuselesaikan.

“Energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan, hanya berubah bentuk,” kata Bu Ariani waktu itu.

Kini kalimat itu menggema di benakku.

Mungkin manusia juga begitu. Mereka tidak benar-benar hilang, hanya berubah bentuk — menjadi kenangan, menjadi cahaya kecil di ingatan yang tak pernah padam.

Sepulang dari makam, aku membuka buku fisika yang dulu aku benci.

Kubuka Bab 5 dan 7 perlahan. Coretan tanganku masih berantakan di sana.

Di pojok kanan bawah, kutemukan catatan kecil — nasihat dari beliau:

“Kalau kamu takut gagal, berarti kamu belum benar-benar belajar.”

Aku tersenyum getir.

Untuk pertama kalinya, fisika tak lagi menakutkan.

Yang kusesali sekarang hanyalah karena kehilangan kesempatan untuk bilang:

Terima kasih, Bu.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)
Rekomendasi dari Self Improvement
Flash
Kisi-Kisi
Hans Wysiwyg
Novel
Berdiri Di Ambang Dunia
Asep Saepuloh
Cerpen
Bronze
Bukan Pencuri
Titin Widyawati
Flash
Dansa Diketiadaan
Ninazyn
Flash
Sebuah Jalan
Titin Widyawati
Flash
Seri Kerangka Berpikir: Konflik Sang Penggerak Plot
M. Fagih Alhafizh
Cerpen
Trash Bag
Pan 🐼
Cerpen
Get Rich Overnight
Rizki Mubarok
Flash
Perspektif
zaidan Ammar ghazani
Novel
Trilogi Trimatra: Cita Punca Prawira
elrena._
Novel
Skenario Tuhan (Gadis 12 Kali Operasi)
Mega Kembar
Flash
Langkah Kecil, Perubahan Besar
Penulis N
Novel
Spin to Sink: Mikoto Fight to be Better
Romi Bangun Awali
Cerpen
Bronze
Pendakian yang Tak Terlihat
SILVIA INDONESIA
Cerpen
Bronze
Bawa Aku, Kemana Kau Pergi
angin lembah
Rekomendasi
Flash
Kisi-Kisi
Hans Wysiwyg
Flash
Laut Itu Luka
Hans Wysiwyg
Flash
Mimpi Teduh
Hans Wysiwyg
Cerpen
Mencari Cinta Di Kelab Malam
Hans Wysiwyg
Flash
Luruh Bersama Angin
Hans Wysiwyg
Flash
BAJINGAN
Hans Wysiwyg
Flash
Remember Us This Way
Hans Wysiwyg
Flash
Suami Terba(l)ik
Hans Wysiwyg
Flash
MAKLAR
Hans Wysiwyg
Cerpen
SUNYI SEKALI
Hans Wysiwyg
Flash
DINARA Tak Ada Lagi Jalan Pulang
Hans Wysiwyg
Flash
Bangku Kosong di Baris Kedua
Hans Wysiwyg
Flash
CLBK Cinta Lama Belum Kelar
Hans Wysiwyg
Flash
Hari Ini Bapak Menyemir Sepatuku
Hans Wysiwyg
Flash
Perahu Langit
Hans Wysiwyg