Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pernah nggak kalian merasa jadi orang paling “invisible” di dunia? maksudku seperti nggak dianggap siapa-siapa, bahkan angin pun cuma lewat tanpa menyapa.
Itulah yang kurasakan sore ini di sebuah halte kecil di pinggir jalan kampus.
Sedang duduk sendiri di halte, tiba-tiba datang beberapa cewek dengan gaya seperti baru keluar dari toko outfit mahal—sunglasses besar, tas mungil tapi logonya lebih mencolok dari papan reklame. Pandangan matanya ke aku mode bombastic side eye, ekspresi mata sinis mendekati jereng dengan mulut sedikit dimonyongin. Berdiri nunggu antrian bus yang sama, tapi nggak mau duduk barengan, padahal deretan kursi di sebelahku kosong.
Padahal aku cuma duduk diam, menatap jalan, menunggu. Tapi entah kenapa, tatapan mereka seolah meremehkan. Mungkin saja aku yang baperan.
Aku refleks melirik ke bawah.
Kaosku memang lusuh. Ada bolong kecil di dada—kena mesin cuci. Maklum masih jomblo, apa-apa sendiri. Dan sialnya, jaket yang mestinya kupakai ketinggalan di mall.
“Nggak duduk?,” ujarku berbasa-basi sopan, mencoba mencairkan suasana.
Tapi mereka justru bergeser sedikit menjauh.
Lucu juga, di dunia yang katanya modern ini, ternyata masih banyak yang alergi sama kesederhanaan.
***
Menurut jadwal, bus terakhir bakal lewat sekitar dua belas menit lagi.
Sementara aku, masih nunggu pesan dari Josh.
Ternyata menunggu itu memang bukan cuma membosankan, tapi kali "menyakitkan".
Sementara trio cewek bombastic itu makin heboh.
Satu sibuk selfie dengan gaya bibir melet, satunya lagi pura-pura nelpon dengan nada suara “halo, iya di depan mall yaa~”, padahal jelas halte ini adanya di samping bengkel.
Yang ketiga? sibuk scroll HP, tapi jelas matanya nyambi lirik ke arahku — kayak takut kalau aku minta pinjam nelpon.
Aku tersenyum kecil.
Dunia memang aneh, pikirku.
Orang rela pura-pura kaya supaya tak tampak miskin, tapi lupa, kesombongan justru bikin mereka tampak kekurangan—bukan uang, tapi empati.
Waktu berlalu. Bus nggak kunjung datang.
Angin sore berhembus, membawa aroma gorengan dari warung sebelah yang bikin perut berisik.
***
Lima... empat... tiga... dua... satu...
Sebuah Toyota Alphard hitam berhenti persis di depan halte.
Kaca mobil turun perlahan, dan seorang pria berseragam rapi buru-buru keluar. Ia berlari kecil ke arahku, lalu menunduk.
“Maaf banget, Bos! Tadi macet di simpang!” katanya, lalu cepat-cepat membukakan pintu mobil untukku.
Suasana mendadak beku.
Tiga cewek bombastic side eye itu kaget, matanya membulat seperti habis liat tagihan kartu kredit.
Yang satu sempat batuk pura-pura, yang satu lagi tiba-tiba fokus ke HP, dan yang terakhir—yang paling nyinyir tadi—tiba-tiba berbisik lirih, “Itu... bos-nya ya?”
Aku berdiri pelan, menepuk celana yang berdebu, lalu melangkah santai.
Pintu Alphard menutup pelan.
Dari kaca mobil, kulihat tiga perempuan itu masih berdiri mematung.
Aku cuma nyengir.
“Kadang Tuhan cuma butuh lima belas menit buat ngasih plot twist hidup yang manis,” gumamku pelan, sambil melirik ke belakang — melihat tiga wajah yang sekarang bukan lagi bombastic side eye, tapi tragic open mouth.