Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Malam itu hujan turun seperti hendak merobek langit. Angin menderu, membawa aroma tanah basah yang bercampur bau besi dari pagar rumah. Tidak ada yang aneh—sampai ponselku bergetar.
Satu pesan.
Dari Ibu.
“Jemput Sera di Bandara Soetta. Sekarang.”
Alisku mengernyit. Sera? Siapa itu? Mengapa harus aku? Apalagi di jam seperti ini, ketika petir berlari-lari di langit.
“Tapi, Bu… siapa dia? Kenapa aku harus—”
Jawaban ibu datang cepat. Dingin. Tegas.
“Tidak ada tapi. Kamu harus menjemputnya sekarang.”
Aku menelan ludah.
“Bagaimana aku tahu itu dia?”
Layar ponselku menyala lagi.
“Dia satu-satunya perempuan dengan boneka kelinci hitam.”
Entah kenapa, kalimat itu membuat udara di sekitarku semakin dingin.
Dan begitulah, aku akhirnya berada di Bandara Soekarno–Hatta malam itu. Langkahku bergema di lantai yang basah oleh hujan yang terbawa masuk. Mata memindai setiap wajah, mencari… dia.
Ponselku kembali bergetar.
“Sudah kamu temukan dia?”
Kuketik cepat.
“Belum…”
Tapi sebelum sempat kukirim, dari sudut mata, aku melihatnya.
Seorang gadis berdiri sendiri di dekat pintu keluar, memeluk erat boneka kelinci hitamnya.
Dan… boneka itu seperti sedang menatapku.
Ponselku kembali bergetar.
Pesan dari Ibu.
“Pastikan dia masih hidup… utuh.”
Aku membeku. Jemariku mulai dingin, seolah darah mengalir mundur. Kata utuh terasa seperti bayangan yang menelusup ke kepalaku, menghadirkan kemungkinan yang tak seharusnya kupikirkan.
Pesan berikutnya menyusul, tanpa memberi waktu untuk bernapas.
“Namanya Sera.”
Sera? Atau… mereka orang yang sama? Pertanyaan itu bahkan belum selesai terbentuk di kepalaku saat pesan ketiga datang.
“Ibu mau tidur. Nanti pagi Ibu hubungi lagi.”
Lalu… satu baris terakhir yang membuat tengkukku seperti disiram es.
“P.S. Jangan mati.”